Sekitar 10% dari pasangan  suami-istri mengalami infertilitas Faktor peyebab infertilitas  berasal dari suami, istri, atau keduanya. Faktor lain dari kedua belah  pihak sebesar 30--40%. Menurut penelitian yang dilakukan Lim dan Ratnam,  faktor penyebab yang berasal dari suami sebesar 33%, sedangkan hasil  penelitian WHO pada 1989 sebesar 40%. Penelitian yang dilakukan Arsyad  terhadap  246  pasangan  infertil  di  Palembang  menunjukkan  infertilitas yang disebabkan faktor pria sebesar 48,4%.  
Laboratorium klinik sangat  berperan dalam diagnosis dan penatalaksanaan pria infertil1. Pemeriksaan  laboratorium yang  merupakan  tulang  punggung  laboratorium  andrologi  dan laboratorium rumah sakit atau Assisted Reproductive Technology (ART) adalah analisis sperma dan pemeriksaan hormon. 
Analisis  sperma  dipakai   untuk  diagnosis  evaluasi  pre/post terapi medikal maupun surgikal  infertilitas pria. Analisis sperma dipakai juga di laboratorium forensik  guna penanggulangan kasus perkosaan, kasus penolakan orangtua terhadap  bayinya, dan untuk menyaring pengaruh bahan racun/obat yang toksik pada  organ reproduktif. Saat ini, banyak diminta pemeriksaan DNA untuk  penanggulangan perkosaan. 
Dibukanya pusat-pusat  pendidikan spesialis andrologi di beberapa universitas di Indonesia  menghasilkan produk spesialis andrologi. Jumlah lulusannya meningkat,  terutama di kota-kota besar. Keberadaan dokter spesialis ini memerlukan  pengembangan pelayanan laboratorium klinik, khususnya bidang analisis  sperma untuk melayani kebutuhannya. Dengan demikian, pada masa mendatang  diramalkan permintaan analisis sperma akan meningkat.   
Penulisan makalah ini  bertujuan mencari kejelasan metode yang dipakai pada analisis  sperma   dan  bagaimana  strategi penggunaan analisis sperma, baik laboratorium  analisis sperma rutin maupun laboratorium khusus untuk penatalaksanaan  ART. 
Definisi 
Sebelum membahas lebih jauh  mengenai peranan analisis sperma pada infertilitas pria, perlu dipahami  dulu definisi dan pengertian dasar infertilitas. Fertilitas adalah  kemampuan seorang istri untuk menjadi hamil  dan melahirkan bayi hidup  serta kemampuan suami menghamilkannya3. Pasangan infertil adalah suatu  kesatuan hasil interaksi biologik yang tidak menghasilkan kehamilan dan  kelahiran bayi hidup2,3. Pasangan suami istri disebut infertilitas  primer jika istri belum berhasil hamil walaupun bersanggama teratur dan  dihadapkan  kepada  kemungkinan  kehamilan  selama  12  bulan  berturut-turut3. Disebut pasangan infertilitas sekunder jika istri  pernah  hamil, akan tetapi tidak berhasil hamil lagi walaupun  bersanggama  teratur  dan  dihadapkan  kepada  kemungkinan kehamilan  selama 12 bulan berturut-turut2,3. Adapun infertilitas idiopatik  adalah   bentuk  infertilitas,  yang  setelah  pemeriksaan lengkap kedua  pasangan dinyatakan normal, dan ditangani selama 2 tahun  tidak  juga   berhasil  hamil.  Pemeriksaannya  meliputi pemeriksaan dasar  infertilitas, HSG, uji   pasca-sanggama, laparoskopi berikut  hidrotubasi, dan sekurang-kurangnya 2 kali analisis sperma.   
Kenyataan  idiopatik  pada  tahap  klinik  ini dipertegas lagi dengan serangkaian uji imunologik dan uji fertilisasi in vitro  (FIV)  atau  uji  fertilisasi  in  vivo   (secara TAGIT).  Jika dengan cara-cara terakhir ini tetap gagal dan  analisis sitogenetik dari  gamet  yang  gagal  difertilisasi  atau   zigot  yang  gagal berkembang menunjukkan hasil yang normal, maka  keadaan inilah yang dikatakan sebagai keadaan idiopatik yang  sesungguhnya3.  
Kemajuan andrologi juga  mempermudah klasifikasi penyebab infertilitas pria. Penyebab  infertilitas pria diklasifikasikan berdasarkan gangguan produksi sperma,  gangguan fungsi sperma, gangguan transportasi sperma, dan penyebab  idiopatik2,6. Gangguan produksi sperma bisa terjadi pratestis, misalnya  hipogonadisme, kelebihan estrogen, kelebihan androgen, kelebihan  glukokortikoid,  dan hipotiroidisme. Bisa terjadi pula di daerah testis,  misalnya gangguan maturasi,  hipospermatogenesis,  sindroma  sel   sertoli,  sindroma Klinefelter, kriptorkidisme, orkhitis, dan lain-lain.  Kelainan di luar organ testis seperti varikokel dan hidrokel  menyebabkan gangguan produksi sperma2.  
Sebab infertilitas pria yang  lain adalah gangguan fungsi sperma. Keadaan ini bisa disebabkan adanya  pyospermia, hemospermia,  adanya  antibodi  anti  sperma,   nekrozoospermia,  dan astenozoospermia2,6. 
Selain  hal  tersebut,  infertilitas  pria  bisa  disebabkan oleh gangguan transportasi sperma,  antara lain kelainan anatomi dari saluran-saluran yang dilewati sperma.  Kelainan anatomi itu bisa berupa agenesis vas deferens maupun vesika  seminars, hipospadia dan epispadia, obstruksi vas  deferens/epididimis   yang  bisa disebabkan TB epididimis, gonokokal epididimis, pasca trauma,   klamidial  epididimis, serta  mikoplasma  epididimis. Kelainan anatomi  didapat bisa karena tindakan vasektomi2,6.  
Pemeriksaan Laboratorium Analisis Sperma 
World Health Organization  (WHO) telah mempublikasikan petunjuk laboratorium analisis sperma sejak  1980. Kemudian dilakukan perbaikan edisi pada 1987 dan 1992. Edisi  terbaru adalah edisi keempat tahun 1999. Pada edisi terakhir ini  diperkenalkan prosedur laboratorium analis sperma standar untuk  menetapkan  diagnosis  pria  infertil,  pengembangan  pelayanan  inseminasi  buatan,  pengembangan  penelitian  dan  kemungkinan  kontrasepsi pria, kemungkinan efek samping dari toksin maupun polutan  lain, serta kedokteran forensik8. 
Petunjuk laboratorium analis  sperma edisi terbaru WHO 1999 sangat  diperlukan  karena  berguna  dalam   pengembangan andrologi. Di  dalamnya  memuat jaminan  kualitas   pemeriksaan laboratorium yang ditingkatkan, pengembangan tes fungsi  sperma, pemeriksaan semen otomatis, keberhasilan uji-coba WHO pada  metode hormonal untuk kontrasepsi pria, perhatian terhadap toksin di  lingkungan sekitar yang menyebabkan gangguan fertilitas pria berupa  penurunan jumlah sperma dan frekuensi gangguan saluran kelamin,  diakuinya penyebab genetik pada infertilitas pria, dan pengembangan  besar pada menejemen infertilitas pria dengan infra cyloplusmic sperm injection (ICSI) 8.  
Petunjuk laboratorium analisis  sperma WHO 1999  secara umum berisi tentang: (1) Prosedur standar  pemeriksaan semen yang meliputi deskripsi plasma semen, konsentrasi  sperma, motilitas, morfologi, hitung sel selain sperma, dan tes antibodi  yang melapisi sperma; (2) Jenis-jenis tes pilihan yang tidak rutin  dilakukan, tetapi tergantung kebutuhan; (3) Jenis tes riset yang  digunakan dalam laboratorium riset andrologi; (4) Garis besar  teknik-teknik memisahkan sperma; (5) Cara melakukan kontrol kualitas  laboratorium andrologi; (6) Metode yang lebih detail tentang tes  interaksi mukus servikalis dengan sperma; (9) Tambahan-tambahan tentang  nilai rujukan analisis sperma, petunjuk teknik pewarnaan sperma,  persiapan tes immunobead, dan biokimia semen.  
Perubahan besar dan modifikasi yang ada pada petunjuk laboratorium  analisis  sperma  WHO  1999  ini  adalah: Pertama,  tentang  kesalahan  penghitungan  dari  aspek statistik (statistical   aspects  of  counting   errors).  Saat ini direkomendasikan penghitungan 200 sperma  dua  kali  untuk  menghitung konsentrasi sperma, motilitas, dan morfologi. Dengan adanya  peningkatan jumlah sperma yang dihitung (sebelumnya 100 sperma),  akan   memperbaiki  akurasi  hasil  pemeriksaan.  Kedua, tentang   penghitungan  motilitas sperma  berdasarkan  bergerak tidaknya dan  kecepatan sperma bergerak. Diketahui panjang kepala sperma 5 ìm dan  panjang ekor sperma 50 ìm. Jika sperma bergerak dengan kecepatan 5 kali  panjang kepala sperma atau setengah kali panjang ekor sperma maka  diperkirakan kecepatan sperma adalah 25 ìm/detik. Metode ini memiliki  reprodusibilitas yang lebih baik daripada metode yang direkomendasikan  sebelumnya8. Ketiga, tentang  perubahan  penilaian  morfologi   sperma  yang  lebih sederhana. Sebelumnya analisis harus  mengidentifikasi dan menghitung bentuk-bentuk  abnormal  sperma  selain   bentuk normalnya. Saat ini hanya menentukan bentuk normal dan abnormal,  tanpa harus menghitung detail dari bentuk-bentuk abnormal sperma. Keempat,  tentang kontrol kualitas analisis sperma. Kontrol kualitas analisis  sperma  diperlukan untuk mendeteksi dan mengoreksi kesalahan sistematik  serta variabilitas yang tinggi.  Aktivitas kontrol kualitas disiapkan  dengan satu laboratorium rujukan sebagai kontrol kualitas interna.  Penetapan kualitas eksterna didasarkan pada hasil evaluasi sampel yang  sama yang dievaluasi di beberapa laboratorium.   
Pengambilan Sampel 
Sebelum diambil, penderita  diberi penjelasan tertulis tentang tatacara pengumpulan dan membawa  semen ke tempat pemeriksaan. Semen diambil setelah abstinensi sedikitnya  48 jam dan tidak lebih lama dari  tujuh  hari.  Nama, masa abstinensi,  dan waktu pengambilan dicatat pada formulir yang dilampirkan pada setiap  semen yang akan dianalisis. Untuk evaluasi awal, dilakukan pemeriksaan  dua sediaan. Waktu antara kedua pemeriksaan tersebut bergantung pada  keadaan setempat, tetapi tidak boleh kurang dari tujuh hari atau lebih  dari tiga bulan. Semen diantar ke laboratorium dalam waktu satu jam  sesudah dikeluarkan. Semen sebaiknya diperoleh dengan cara masturbasi  dan ditampung dalam botol kaca bermulut lebar. Semen dilindungi dari  suhu yang ekstrim selama pengangkutan ke laboratorium (suhu antara  20—400C) 4,7.  
Makroskopik 
Pertama kali sampel semen  datang di laboratorium dilakukan pemeriksaan makroskopik. Semen normal  tampak berwarna putih kelabu dan berbau seperti bunga akasia pada pagi  hari11. Semen yang berbau busuk diduga disebabkan oleh suatu  infeksi2,11. Dalam keadaan normal, semen mencair (liquefaction)  dalam 60 menit pada suhu kamar. Dalam beberapa kasus pencairan tidak  terjadi secara sempurna dalam 60 menit2,6. Hal ini menunjukkan adanya  gangguan pada fungsi kelenjar prostat11. Untuk itu, semen segera  diperiksa setelah pencairan atau dalam waktu satu jam setelah  ejakulasi4. 
Setelah diamati penampilannya,  dilanjutkan dengan pengukuran volume semen. Volume semen diukur dengan  gelas ukur atau dengan cara menghisap seluruh semen ke dalam suatu  semprit atau pipet ukur. Nilai normal >/2,0 ml2,6. Jika volume semen  terlalu sedikit maka tidaklah cukup untuk menetralkan keasaman suasana  rahim. Dengan demikian, sperma yang berada di rongga rahim akan segera  mati sehingga kehamilan tidak terjadi11. Volume dianggap abnormal jika  semen < 2,0 ml. 
Pemeriksaan makroskopik  dilakukan dengan melihat konsistensinya. Untuk mengetahui konsistensi  semen diukur dengan dua cara. Semen yang ada pada semprit diteteskan  dari ujung jarum. Jika terjadi gangguan konsistensi maka tetesan  membentuk benang yang panjangnya lebih dari 2 cm. Konsistensi juga  diukur dengan cara memasukkan tangkai kaca ke dalam semen, kemudian  mengamati benang yang terbentuk pada saat tangkai kaca tersebut  dikeluarkan. Panjang benang > 2 cm dikatakan abnormal2,4,6. Semen  yang terlalu encer maupun terlalu kental kurang baik bagi sperma. Pada  semen yang mempunyai konsitensi tinggi, kecepatan gerak sperma akan  terhambat. Dengan  demikian, akan  mengurangi kesuburan pria tersebut.   Sebaliknya, semen yang terlalu encer biasanya  mengandung  jumlah   sperma  yang  rendah  sehingga kesuburan juga berkurang11. 
Pemeriksaan makroskopik yang  lain adalah pemeriksaan pH semen tersebut. Cara mengukur pH semen  relatif mudah. Setetes semen disebarkan secara merata di atas kertas pH.  Setelah 40 detik, warna  daerah  yang  dibasahi  akan  merata, kemudian  dibandingkan dengan kertas kaliberasi untuk dibaca pH-nya. pH semen  normal yang diukur dalam waktu satu jam setelah ejakulasi berada dalam  kisaran 7,2 sampai 7,8. Jika pH lebih besar dari 7,8 maka dicurigai  adanya infeksi. Sebaliknya, jika pH kurang dari 7 pada semen  azoospermia, perlu dipikirkan kemungkipan disgenesis vas deferens,  vesika seminal, atau epididimis2,6,9.  
Mikroskopik 
Pada pemeriksaan mikroskopik,  semen diperiksa morfologi, motilitas, jumlah sperma, adanya sel-sel  bukan sperma, dan aglutinasi sperma. Motilitas sperma diperiksa dengan  beberapa cara.  Dalam beberapa tahun, telah diperkenalkan beberapa cara  pemeriksaan ciri gerak sperma manusia yang objektif, termasuk pemotretan  jangka waktu (time exposure) dan mikrografi komputer yang menggunakan kamera video serta cara-cara menggunakan teknologi laser7.  
Cara klasifikasi sederhana  yang biasa dipakai adalah bahan semen satu tetes dibubuhkan pada slide  dan ditutup dengan gelas penutup.  Pemeriksaan  dilakukan dengan   mikroskop biasa, pembesaran 400 kali, kondensor diturunkan, cahaya  minimal, atau memakai mikroskop fase kontras. Pemeriksaan dilakukan pada  suhu kamar4. 
Lapangan pandang diperiksa  secara sistematik dan motililas sperma  yang  dijumpai dicatat.   Kategori  yang  dipakai  untuk mengklasifikasi motilitas sperma disebut  (a), (b), (c), (d), dan didefinisikan  sebagai  berikut1,3,22: Kategori   (a) jika  sperma bergerak cepat dan lurus ke muka. Kategori (b) jika  geraknya lambat atau sulit maju lurus atau bergerak tidak lurus.  Kategori (c) jika tidak bergerak maju. Kategori (d) jika sperma tidak  bergerak. Biasanya empat sampai enam  lapangan  pandang yang diperiksa  untuk memperoleh seratus sperma secara berurutan yang kemudian  diklasifikasi sehingga menghasilkan persentase setiap kategori  motilitas. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulang dengan tetesan  sperma kedua yang diperlakukan dengan tatacara sama. 
Pemeriksaan  mikroskopik   berikutnya  adalah  memeriksa jumlah sperma. Pemeriksaan dilakukan  dengan 2 cara, yaitu secara kasar dan penghitungan dalam kamar hitung.  Penentuan secara kasar dilakukan dengan menghitung jumlah spermatozoa  rata-rata pada beberapa lapangan pandang pembesaran objektif 40 kali,  kemudian mengalikan angka tersebut dengan 106. Jika ada 40  sperma/lapangan maka jumlah sperma secara kasar kira-kira 40  juta/ml2,4,6. 
Setelah menghitung jumlah  sperma secara kasar, dilanjutkan pemeriksaan selular yang bukan sperma.  Elemen bukan sperma juga dilihat  antara  lain  sel  epitel  gepeng   dari  saluran  uretra,  sel spermatogenik, dan lekosit. Jumlah sel  tersebut ditaksir dalam setiap lapangan pandangan pada  sediaan basah  seperti  penghitungan jumlah sperma4.  
Jika jumlah sel tersebut  melebihi 1 juta/ml atau satu setiap lapangan pandangan dengan pembesaran  objektif 40 kali, dilakukan pemulasan  khusus  untuk  membedakan   antara  lekosit  yang peroksidase positif dengan sel lain. Jika lekosit   lebih dari 1 juta/ml mungkin perlu pemeriksaan untuk menentukan apakah  orang tersebut menderita infeksi. Walaupun tidak ada sel lekosit, tidak  mengesampingkan kemungkinan infeksi4.  
Pada pemeriksaan mikroskopik  berikut diperiksa adanya aglutinasi. Aglutinasi sperma berarti bahwa  sperma motil saling melekat kepala dengan kepala, bagian tengah dengan  bagian ekor, atau campuran bagian tengah dengan bagian  ekor.   Melekatnya sperma yang tidak motil atau motil pada benang mukus atau  pada sel  bukan sperma tidak  boleh dicatat  sebagai  aglutinasi. Adanya  aglutinasi  merupakan petunjuk, tetapi  bukan pasti  akan adanya faktor  imunologi sebagai penyebab infertilitas. Aglutinasi tidak tergantung   banyaknya.  Beberapa  kelompok  kecil  sperma yang beraglutinasi  sudah   dianggap  positif.  Adanya  aglutinasi  pada analisis sperma perlu  dikonfirmasi dengan uji imunologi MAR4.  
Uji Biokimiawi 
Uji biokimiawi dilakukan bila  ada kelainan mikroskopik dan makroskopik. Uji biokimia menunjuk kepada  fungsi kelenjar asesori,  yaitu  asam  sitrat,  gamma  glutamil   transpeptidase,  dan fosfatase asam untuk kelenjar prostat. L. karnitin  bebas dan alfa glukosidase untuk epididimis. Kadar petanda atau petanda  khas yang rendah menggambarkan fungsi sekresi yang kurang baik, sehingga  hal tersebut dipakai untuk menilai fungsi kelenjar asesori laki-laki.  Suatu infeksi menyebabkan  penurunan  sekresi  yang  besar, tetapi nilai  yang diperoleh untuk berbagai petanda masih dalam kisaran nilai normal  yang besar. Suatu infeksi juga menyebabkan kerusakan pada epitel sekresi  sehingga walaupun telah diberi pengobatan, kemampuan sekresi tetap  rendah4,7,9. 
Uji  biokimiawi  semen  untuk   menilai  kemampuan  sekresi prostat adalah mengukur kadar seng dan asam  sitrat. Sekret kelenjar prostat merupakan bagian yang meliputi 15%-30%  dari volume total semen. Sekret kelenjar prostat tidak berwarna, bening,  dan bersifat asam lemah (pH 6,5), mengandung banyak sekali asam sitrat  serta fosfatase asam11. Kadar seng dan asam sitrat memberi ukuran yang  bisa dipercaya tentang sekresi kelenjar prostat. Antara seng, asam  sitrat, dan asam fosfatase ditemukan korelasi yang baik, tetapi untuk  kemudahannya hanya dua uji pertama yang sering dipakai7,9.  
Selain  pengukuran  sekresi   prostat,  perlu juga  dilakukan pemeriksaan kemampuan sekresi vesika  seminal. Sekret vesika seminalis ini merupakan komponen yang banyak  sekali digunakan untuk indikator dalam menangani kasus infertilitas.  Komponen ini pada waktu diejakulasikan berbentuk kental, kaya akan  karbohidrat dan protein11. Kemampuan sekresi vesika seminal bisa  diketahui dengan pengukuran fruktosa. Penentuan fruktosa penting pada  kasus duktus deferens, dan  merupakan  fraksi  yang padat  dengan  spermatozoa. Cairan epididimis ini mengandung banyak sekali lipid dan  glikogen. Di samping itu, mempunyai aktivitas fosfatase asam11. Uji  biokimia semen untuk  mengetahui  kapasitas  sekresi epididimis  adalah   pemeriksaan  L  karnitin.  L  karnitin  bebas memberikan gambaran  tentang fungsi sekresi epididimis7,9.  
Uji Imunologi 
Pemeriksaan uji imunologi  dilakukan karena kecurigaan adanya antibodi pelapis  sperma  pada  semen   tersebut.  Antibodi-pelapis  sperma merupakan tanda khas dan  patognomonik untuk infertilitas yang disebabkan  faktor  imunologi.   Antibodi  sperma  dalam  semen tergolong dua kelas imunologi, yaitu IgA  dan IgG. Pengujian terhadap antibodi tersebut dilakukan pada semen segar  dan menggunakan cara  reaksi  antiglobulin  campuran , yaitu  uji  MAR   (Mixed Antislobulin Reaction) atau cara butir imun (Immunobead) 4.  
Uji  MAR  IgG  dilakukan  dengan mencampur semen segar dengan butir lateks atau sel eritrosit  biri-biri yang dilapisi dengan IgG manusia. Suatu antiserum IgG manusia  yang monospesifik kemudian dibubuhkan kepada campuran tersebut.  Terbentuknya gumpalan campuran antara butir dan sperma motil merupakan  bukti adanya antibodi IgG pada spermatozoa. Diagnosis infertilitas  dengan sebab imunologi merupakan suatu kemungkinan jika 40% atau lebih  sperma motil mempunyai partikel yang melekat. Kemungkinan infertilitas  karena sebab imunologi perlu dipikirkan jika  10--40% sperma motil  mempunyai partikel yang melekat. Uji tambahan seperti uji kontak  sperma-getah servik (KSGS) dan titrasi antibodi sperma dalam serum akan  memperkuat atau menolak diagnosis4.  
Pemeriksaan imunologi semen  yang lain adalah uji butir imun. Uji butir imun dilakukan untuk  mengetahui adanya antibodi yang berada di permukaan sperma. Butir imun  merupakan bola poliakrilamida dengan imunoglobulin kelinci-anti  imunoglobulin manusia yang terikat secara kovalen. Adanya antibodi IgG  dan IgA bisa diteliti sekaligus dengan uji ini4.  
Sperma dicuci terlebih dahulu  agar terbebas dari  cairan semen dengan cara sentrifugasi dan kemudian  diresuspensi dalam larutan dapar. Suspensi sperma kemudian dicampur  dengan suatu suspensi butir imun. Proporsi sperma dengan antibodi  permukaan kemudian  ditentukan  dan  kelas  antibodinya  (IgG  atau   IgA) diidentifikasi dengan menggunakan 2 jenis butir imun4. 
Jika  uji  butir  imun   positif  maka  perlu  dilakukan  uji tambahan seperti uji KSGS dan  titrasi antibodi sperma dalam serum untuk memperkuat atau menolak  diagnosis4.  
Uji Mikrobiologi 
Uji  mikrobiologi dilakukan  jika dicurigai  ada infeksi  mikroba pada semen tersebut. Semen yang  akan dibiakkan dikumpulkan dengan melakukan perhatian khusus untuk  mencegah kontaminasi. Sebelum mengumpulkan semen, penderita diminta  mengeluarkan kencingnya terlebih dahulu. Segera  setelah  itu , ia   mencuci  tangannya dan genitalianya dengan sabun, kemudian membilasnya  serta mengeringkannya  dengan  handuk  bersih.  Botol  semen  dalam  keadaan  steril.  Biakan  plasma  semen  membantu  menegakkan diagnosis  infeksi kelenjar asesori, terutama prostat. Biakan semen dilakukan jika  penderita menunjukkan tanda atau gejala infeksi kelenjar asesori atau  semen mengandung sel darah putih dalam jumlah lebih 1 juta/ml. Hasil  biakan diinterpretasi dengan hati-hati. Uji-uji lain seperti pemeriksaan  air seni pertama dan kedua serta cairan prostat yang diperoleh melalui  pemijatan prostat dan air seni  setelah pemijatan prostat, perlu  dilakukan untuk menunjang diagnosis.  Juga   perlu  dilakukan  analisis    biokimia   semen. Pemeriksaan  analisis  sperma  yang  diuraikan   tersebut  masih menggunakan manual.  
Otomatisasi 
Saat  ini  telah  diperkenalkan  suatu  alat  analisis  sperma otomatik menggunakan peralatan komputer (Computer-Aided Semen Analysis  = CASA). Beberapa tahun terakhir alat ini telah dipakai. Pemeriksaan  analisis sperma dengan CASA dapat menghitung konsentrasi sperma,  motilitas sperma, dan morfologi sperma12. Pengembangan jumlah analisis  sperma memungkinkan CASA akan digunakan luas dalam laboratorium analisis  semen pada masa yang akan datang8,10.  
Prosedur ART 
Analisis sperma  banyak   dipakai  pada  teknologi  bantu reproduksi (ART). ART adalah teknik  bidang kedokteran untuk membantu proses reproduksi dengan cara mengatasi  hambatan bertemunya spermatozoa dan  oosit,  sehingga  memungkinkan  terjadinya  konsepsi  pada  pasangan  infertil. Pelaksanaannya  diperlukan  persiapan  sperma  dan  analisis  berulang-ulang.  Ada  beberapa alasan cukup kuat mengapa sperma harus dipersiapkan terlebih   dahulu  sebelum  digunakan  dalam  ART.  Plasma  semen mengandung faktor  yang dapat mengurangi kemampuan fertilisasi spermatozoa. Plasma semen  juga mengandung mikroorganisme dan sel-sel lain seperti lekosit yang  mensekresi bahan-bahan yang dapat menghambat fertilisasi. Di samping  itu, lebih efisien bila dilakukan inseminasi oosit hanya dengan  spermatozoa berkualitas baik dan menyingkirkan yang jelek.  Hal  yang   terpenting  adalah pemisahan spermatozoa dari seminal plasma akan  menginduksi terjadinya kapitasi. 
Tujuan   metode   persiapan    sperma   adalah   pemisahan spermatozoa  motil  dari  plasma  semen,   dengan  hasil  tuaian semaksimal  mungkin  dan  kerusakan  pada  sel   spermatozoa seminimal  mungkin.  Selain  itu,  hasil  persiapan  sperma  harus sebersih mungkin dari debris. Beberapa metode persiapan sperma  adalah pencucian dan renang atas (PRA), swim up, migration gravity sedimentation, albumin column filtration,  kolom bertingkat percoll (KBP), dan teknik migrasi ke samping (TMS).  Secara rutin di laboratorium  ART,  metode  persiapan  sperma  PPA  dan   KBP digunakan untuk inseminasi intra uterin dan fertilisasi in vitro,  sedangkan TMS diperlukan untuk ICSI. Proses PRA berdasarkan kemampuan  spermatozoa motil untuk migrasi dari endapan plasma semen menuju lapisan  atas medium dan proses KBP untuk pemisahan spermatozoa yang berdasarkan  pada filtrasi melalui partikel-partikel kolom percoll. Proses TMS  berdasarkan kemampuan spermatozoa motil untuk migrasi secara horizontal. 
Salah satu cara dari ART adalah TAGIT (Tandur Alih Gamet Intra Tuba) atau GIFT (Gamet Intra Fallopian Transfer).  Prosedur ini  mempertemukan sel benih (gamet), yaitu ovum  dan  sperma  dengan cara menyemprotkan campuran sel benih itu memakai kanul tuba ke  dalam bagian ampula. FIV atau bayi tabung adalah usaha fertilisasi  yang   dilakukan  di luar  tubuh,  di dalam  cawan  biakan dengan suasana  yang mendekati alamiah. Jika berhasil pada saat mencapai  stadium   morula,  hasil  fertilisasi ditanduralihkan ke endometrium  rongga   uterus3.  Kedua tindakan  ini  memiliki indikasi dan syarat-syarat  tersendiri. Tandur alih gamet intra tuba indikasinya infertilitas  idiopatik, endometriosis ringan, sindroma Rokitansky-Klister-Hauser,  tuba satu dengan ovarium kontralateral, infertilitas primer dengan umur  di atas 35 tahun, dan oligozoospermia. Syaratnya tuba paten, uterus dan  endometrium normal, ovarium berfungsi  normal,  serta ada  sperma  yang   motil.  FIV  indikasinya infertilitas primer dengan umur lebih 35  tahun, gagal dengan TAGIT, oklusi tuba bilateral, donasi ovum, sindroma  Rokitansky-Kuster-Hauser, infertilitas  idiopatik  yang  gagal dengan   TAGIT, dan oligozoospermia. Syaratnya uterus dan endometrium utuh,  ovarium masih berfungsi normal, serta ada sperma yang motil3. 
Karena dalam program ini  diinginkan beberapa ova sekaligus, maka setiap pasien menjalani pemicuan  ovulasi. Yang sering dipakai adalah klomifen dan gonadotropin. Pada  keadaan tertentu, misalnya haid tak teratur, peninggian kadar  gonadotropin (FSH, LH) dengan ovarium yang normal (sindroma ovarium  resisten gonadotropin) dapat diberikan analog GnRH lebih dahulu untuk  membendung pada tingkat hipotalamus. Kemudian ovulasi dapat dipacu  dengan gonadotropin (dalam hal ini lebih baik dipakai FSH murni). Selama  pemicuan ovulasi ini, dilakukan pemantauan secara hormonal terhadap  kadar LH, E2, maupun dengan ultrasonografi. Apabila telah dicapai  folikel matang dengan ukuran garis tengah 18--20mm dan kadar E2 dalam  serum mencapai 1000--1500pg/ml, dilakukan penyuntikan hCG. Hal ini  diikuti dengan aspirasi folikel untuk memperoleh beberapa ova, 32--35  jam kemudian3. Jika pasien adalah peserta TAGIT maka pada hari aspirasi  folikel, 2--3 jam sebelumnya dilakukan pencucian sperma suami. Sperma  ini kemudian diambil yang motil saja untuk bersama-sama dengan ova yang  diperoleh dimasukkan ke dalam ampul saluran telur per laporoskopi. Jadi,  dalam hal ini tidak dilakukan pembuahan di luar tubuh pasien.  Diharapkan fertilisasi di ampula dapat terjadi secara alamiah3. 
Jika pasien mengikuti program  FIV, setelah beberapa ovulasi berhasil diperoleh dengan cara pencucian  yang serupa, fertilisasi dilakukan di luar tubuh pasien, yaitu di dalam  media biakan. Apabila fertilisasi berhasil maka pada stadium morula  (8-12 sel), embrio yang sedang tumbuh itu dipindahkan (ditanduralihkan)  ke rongga uterus (endometrium) memakai  kanul  khusus, pada hari  ke  3--5 pasca  aspirasi  folikel.  Selanjutnya, pasien  diberi  substitusi  progesteron untuk memberi dukungan pada korpus luteum, sebelum fungsi  produksi diambil alih oleh sel-sel trofoblas dari plasenta. 
Pemantauan terhadap  kemungkinan kehamilan dilakukan dengan pemeriksaan hCG darah atau urin.  Meskipun teknik ini sangat canggih dan rumit, usaha ini belum tentu  memberikan keberhasilan. Di pusat-pusat FIV, keberhasilan sekitar  30-35%. Akhir-akhir ini, teknik FIV menjadi titik perhatian karena cukup  banyak aspek yang perlu dipikirkan dan cukup banyak disiplin ilmu yang  terlibat. Yang lebih penting lagi, cara ini telah melibatkan banyak  aspek hukum dan medikolegal3.  
Analisis semen merupakan tes  yang paling penting untuk menetapkan pria infertil. Karena dari analisis  semen didapatkan informasi tentang siklus hormon reproduksi pria,  spermatogenesis, dan terbukanya saluran repoduksi pria. Disebut  azoospermia jika tidak ada spermatozoa sama sekali pada semen yang  mungkin disebabkan pretestikuler,  tesitikuler,  dan post-testikuler.   Oligospermia  jika paremeter semen lain normal, kecuali jumlah  spermatozoa yang jumlahnya di bawah 40   juta/ejakulat atau 20 juta/ml.  Astenozoospermia diindikasikan jika motilitasnya kurang dari 50% yang  progresif. Jika abnormalitasnya tunggal, kurang dari 20%, baru dianggap  tidak normal. Teratozoospermia jika morfologi abnormal sperma lebih dari  50%. Keadaan ini lebih sering dijumpai sebagai abnormalitas campuran,  misalnya oligoastenoteratozoospermia6.  
Simpan Beku Sperma 
Dalam penyediaan bahan untuk  prosedur ART, terutama yang tertunda, diperlukan simpan beku sperma.  Simpan beku sperma adalah penyimpanan sperma pada suhu sangat rendah  (-1960C) dalam  nitrogen  cair. Sebelum dilakukan penyimpanan, sperma  terlebih dahulu dicampur cryoprotectant. Sperma yang bisa  dilakukan simpan beku meliputi sperma normal, sperma sub-normal,  misalnya oligozoospermia ataupun sperma dari epididimis, sperma segar (native semen), atau sperma yang sudah disiapkan (washed semen). Semuanya ini memerlukan analisis sperma11. 
Lingkup penggunaan  simpan   beku  sperma dalam  bidang reproduksi antara lain sebagai langkah  profilaksis pada tindakan medis yang memungkinkan terjadinya penurunan  kuantitas dan atau kualitas sperma dalam derajat yang bermakna, misalnya  penggunaan kemoterapi pada kasus keganasan, tindakan pengamanan sperma  sebelum dilakukan  vasektomi  karena  kemungkinan  terjadinya  antibodi-antisperma (ASA), dan post-vasektomi yang dampaknya akan  mengganggu kesuburan. Simpan beku sperma juga dilakukan pada kelainan  oligozoospermia dengan cara kolektif sehingga  bisa didapatkan tuaian  lebih banyak dari pemrosesan beberapa ejakulat. Manfaat  lain  yaitu   sebagai  sarana  pendukung  (back  up) laboratorium  teknik  bantu  reproduksi,  simpan  beku  sperma diperlukan keberadaannya11. 
Dalam proses simpan beku  sperma, perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain faktor laju  perubahan suhu saat proses bekuan dan pencairan (thawing) serta konsentrasi cryoprotectant yang  digunakan sehingga didapatkan tuaian normal. Cara pembekuan dilakukan  perlahan-lahan dengan kecepatan penurunan suhu 10C per menit. Dengan  demikian,  spermatozoa akan mengalami proses eksoosmosis,  yaitu   keluarnya  air  intraseluler sampai terjadinya keseimbangan potensial  kimia antara intraseluler dan ekstraseluler. Keluarnya air intraseluler  menyebabkan peningkatan konsentrasi solut infra seluler dan   menghindarkan toksik  efek karena pembentukan es dalam sel. Berkaitan  dengan hal tersebut, pada proses pembekuan perlu diperhatikan rentang  suhu kritis, yaitu antara –40C sampai –600C. Di sini menggunakan cryoprotectant  yang berfungsi memberikan proteksi spermatozoa terhadap suhu rendah  sehingga kerusakan sel dapat dihindarkan. Adapun komponen utama cryoprotectant  adalah gliserol yang mekanisme proteksinya adalah sebagai berikut: (1)  menurunkan titik beku solut intraseluler; (2) interaksi dengan membran  sel yang menyebabkan perubahan dari relatif  cair  menjadi  kaku  selama   pembekuan;  serta (3)  mencegah terjadinya perubahan konsentrasi  elektrolit intrasel dan ekstrasel dengan cara mengikat elektrolit dan  sebagian air. Karena itu, konsentrasi tertentu dari gliserol, yaitu 7%,  memberikan hasil yang terbaik. Digunakan thawing yang merupakan  salah satu tahapan pekerjaan simpan beku, yaitu pengambilan sampel di  mana terdapat peleburan dari kondisi beku menuju cair. Sampel sperma  beku relatif toleran terhadap perubahan suhu saat thawing, bisa dengan kecepatan perubahan suhu 150C per menit. Yang perlu diperhatikan adalah suhu kritis saat thawing,  yaitu antara –700C sampai –200C11. Setelah pencairan sperma, diperlukan  analisis sperma untuk evaluasi jumlah dan viabilitasnya.  
Daftar Pustaka   
- Demers LM, In Vitro Fertilization and Assisted Reproductive Technologies, Biotech Lab International, March-April 2000
- Arsyad KM, Penatalaksanaan Infertilitas Masa Kini, Dexa Media, No.4 Vol.? Agustus-November 1994, hal 6-11.
- Jacoeb TZ, Teknik Penanganan Pasangan Infertil Sampai Fertilisasi In Vitro, hal 173-94
- Anonymous, Penuntun Laboratorium WHO untuk Pemeriksaan Semen Manusia dan Interaksi Semen Getah Serviks, Balai Penerbit FKUI, Perkumpulan Andrologi Indonesia, Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia, Jakarta, 1988 hal 1-504.
- Hinting A, Penatalaksanaan Infertilitas Pria: Standarisasi dan Permasalahan, Lab Biomedik, FK Unair, Surabaya hal 1-11
- Bhatia V, Current Synopsis of Male Infertility Part 1: Aetiology and Investigations, Medical Progress October 1999, pp 8-12
- Sarkar S, Andrology Laboratory and Fertility Assessment, In: Henry JB, Clinical Diagnosis and Management by laboratory Methods, pp 507-14
- Baker HWG, WHO Standardised Methods of Semen Analysis: 1999 Edition, University of Melbourne Departement of Obstetrics and Gynaecology The Royal Women's Hospital, Cariton 430543 Victoria, Australia, pp 1-3
- Sono OP, Uji Biokimia pada Semen Manusia, Lab. Biomedik FK Unair Surabaya, hal 1-4
- Baker HWG, Computer-Aided Semen Analysis, University of Melbourne Departement of Obstetrics and Gynaecology The Royal Women's Hospital, Cariton 430543 Victoria, Australia, pp 1-4
- Moeloek N, Proses Reproduksi, Kesuburan dan Seks Pria dalam Perkawinan, FKUI, Jakarta, 1985, hal 1-235
- Winarso H, Simpan Beku Sperma Manusia, Post Graduate Course Penatalaksanaan Infertilitas Pria dan Analisis Semen di Surabaya, tanggal 22-23 Oktober 1999, hal 1-8
- Chang YS, Male Infertility and Microfertilisation, Medical Progress January 1999, pp 11-3
- Bhatia V, Male Factor Infertility Part 2: Management, Medical Progress November 1999, pp 25-7
- Baker HWG, Basic Research in Male Infertility, University of Melbourne Departement of Obstetrics and Gynaecology The Royal Women's Hospital, Cariton 430543 Victoria, Australia, pp 1-3
- Arsyad KM, Terapi Medis Infertilitas Pria, Subbag Andrologi Biologi Reproduksi, Bag Biologi Medik FKUniversitas Sriwijaya, hal 1-10
- Baker HWG, Future of the Treatment of Male Infertility, University of Melbourne Departement of Obstetrics and Gynaecology The Royal Women's Hospital, Carton 430543 Victoria, Australia, pp 1-3
- Lunardhi H, Persiapan Sperma pada ART, Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, hal 1-9
- Hinting A, Assisted Reproductive Technology pada Infertilitas Pria, Laboratorium Biomedik, FK Unair, Surabaya, hal 1-5
- Susilawati T, Evaluasi Kapasitasi dan Reaksi Akrosom, Post Graduate Course Penatalaksanaan Infertilitas Pria dan Analisis Semen di Surabaya, tanggal 22-23 Oktober 1999, hal 1-10
- Soebadi DM, Teknik Pengambilan Sperma Epididimis dan Testis pada Azoospermia, SMF Urologi Lab. Ilmu Bedah RSUD dr. Soetomo FK Unair, 1999, hal 1-10
- Moeloek N, Aspek Endokrinologi Infertilitas Pria, Bagian Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta hal 1-10
- Adimoelja A, Aspek Disfungsi Ereksi dan Ejakplasi, Pelatihan Penatalaksanaan Infertilitas Pria dan Analisis Semen, Hotel Santika Surabaya, 22-23 September 1999, hal 1-5
- Simorangkir DR, Morfologi Mikroskopis Testis Manusia: Normal dan Kelainan, Pelatihan Penatalaksanaan Infertilitas

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar