Laman

Rabu, 30 November 2011

INTRAUTERINE INFECTION AND PRETERM DELIVERY ( INFEKSI DALAM RAHIM DAN PERSALINAN PREMATUR)

Persalinan preterm  kejadiannya masih tinggi, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang dan bayi kurang bulan merupakan penyumbang tertinggi terhadap angka kematian bayi baru lahir. Rata-rata angka kejadian persalinan preterm 5%-8% dari keseluruhan kelahiran dan 80% penyebab kematian dari semua kematian neonatal. Pencegahan persalinan preterm umumnya sulit dan tidak efektif. Antara lain karena etiologinya multifaktor seperti: status sosial ekonomi, nutrisi, konstitusi, imunologi dan mikrobiologi disamping penyebab yang terkait dengan komplikasi obstetri (pendarahan anterpartum, hipertensi pada kehamilan atau komplikasi medis lainnya). Faktor risiko yang lain mungkin karena : ketuban pecah dini, persalinan preterm sebelumnya, ras kulit hitam dan umur ibu hamil lebih dari 30 tahun.
            Salah satu penyebab kejadian persalinan preterm adalah infeksi.  Berbagai program dan terapi telah diterapkan untuk mengurangi kejadian persalinan preterm. Banyak penelitian yang mengaitkan kejadian persalinan preterm dengan infeksi, terutama karioamnioitis pada kejadian ketuban pecah dini. KPD meningkatkan risiko bayi terinfeksi, sehingga memperberat masalah kurang bulannya (ketidakmatangan paru, hipotermi, sindrom gawat nafas dan lain-lain). KPD atau karioamnioitis tanpa KPD sering dihubungkan dengan infeksi urogenital. Infeksi bakterial adalah salah satu dari jenis penyebab infeksi urogenital yang dapat menyebabkan persalinan preterm. Infeksi bakteri masuk ke dalam uterus dapat terjadi antara ibu dan bayi (choriodecidual space) ke dalam selaput ketuban (amnion dan karion), plasenta, cairan amnion, tali pusat atan fetus.

EPIDEMIOLOGI
            Kejadian persalinan preterm tidak terjadi secara sama pada sejumlah wanita. Perbedaan yang paling nyata adalah pada wanita kulit hitam dua kali lebih banyak terjadi persalinan preterm di US. Perbedaan kejadian ini sebenarnya tidak bisa diterangkan. Dimana biasanya wanita kulit hitam lebih banyak menderita Bacterial Vaginosis, Chorioamnionitis dan endometritis postpartus, infeksi saluran kencing. Faktor risiko yang lain adalah kejadian persalinan preterm sebelumnya khususnya yang terjadi pada trisemester kedua, ini dapat tejadi karena wanita tersebut menderita infeksi intrauterus kronis.
Hubungan antara infeksi dan persalinan preterm tidak sama sepanjang kehamilan. Infeksi  jarang terjadi pada akhir persalinan preterm (34 sampai 36 minggu) tetapi terjadi kasus paling banyak pada kehamilan kurang dari 30 minggu, yang terlihat pada pemeriksaan histologi pada selaput ketuban pada saat persalinan.
ORGANISME
            Bakteri menyerang uterus melalui migrasi dari cavum abdomen melalui tuba falopi, kontaminasi bakteri pada saat melakukan amniosintesis atau saat pengambilan sampel villi koriales, secara hematogen melalui plasenta, atau perjalanan dari vagina ke servik.
Wanita dengan persalinan preterm dengan selaput ketuban yang utuh,paling banyak ditemukan Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Bardnerella vaginalis, Peptostreptococci, Bacteroides species, semua organisme vagina dengan  virulensi yang rendah. Organisme yang ada sering dihubungkan dengan infeksi saluran kencing pada wanita yang tidak hamil. Neisseria gonorrhoeae dan Clamydia trachomatis jarang ditemukan di uterus sebelum selaput ketuban pecah. Sedangkan yang paling sering dihubungkan korioamnionitis dan infeksi bayi setelah selaput ketuban pecah, grup. B streptococci dan Escherichia coli ditemukan secara kebetulan. Jarang organisme non genital seperti genus capnocytophaga ditemukan di uterus yang dihubungkan dengan persalinan preterm dan chorioamnionitis. Organisme ini mencapai uterus melalui plasenta dari sirkulasi atau kontak oral-genital.
            Organisme terlihat masuk ke dalam choreodecidual space (Gambar 1) pada beberapa wanita, organisme kemudian melewati selaput korioamnion yang utuh masuk ke dalam cairan amnion, sehingga fetus terancam terinfeksi. Bukti infeksi melalui jalur ini di pelajari pada 609 wanita yang fetusnya dilahirkan melalui operasi sesar sebelum selaput ketuban pecah, separo dari 121 wanita dengan kultur  selaput ketuban positif juga mempunyai organisme pada cairan amnion. Ketika kultur dari kedua bagian positif, organisme uyang ditemukan biasanya sama. Wanita dengan kultur selaput ketuban positif mempunyai repon inflamasi aktif, diindikasikan melalui pemeriksaan penemuan secara histologi dari lekositosis dan konsentrasi yang tinggi interleukin-6 pada cairan amnion. Penemuan ini bisa menerangkan mengapa wanita dengan kultur cairan amnion  negatif tetapi konsentrasi cytokine pada cairan amnion tinggi sehingga bisa menyebabkan resistan terhadap obat-obat tokolitik.
 
 



















Gambar 1. Daerah yang potensial terjadi infeksi dalam uterus


WAKTU INFEKSI
Mengapa persalinan preterm terjadi sangat awal, tetapi tidak terjadi kemudian, yang berhubungan dengan infeksi intrauterin tidak pernah dijelaskan dengan memuaskan. Namun demikian, bukti terakhir menunjukkan bahwa infeksi intrauterin bisa terjadi sangat awal dalam kehamilan dan tetap tak terdeteksi selama beberapa bulan. Misalnya, U.urealyticum telah dideteksi pada beberapa sampel cairan amnion yang diperoleh untuk analisa kromosom rutin pada 15 minggu sampai 18 minggu kehamilan. Sebagian besar dari wanita ini melahirkan sekitar 24 minggu. Lebih lanjut, konsentrasi tinggi interleukin-6 pada cairan amnion pada 15 sampai 20 minggu dihubungkan dengan persalinan preterm spontan pada 32 minggu sampai 34 minggu.
Contoh lain yang menunjukkan infeksi kronis adalah konsentrasi fibronectin pada servik atau vagina pada 24 minggu (penanda infeksi saluran genital atas) dihubungkan dengan terjadinya korioamnionitis 7 minggu kemudian. Beberapa wanita tak hamil dengan vaginosis bakterial memiliki kolonisasi intrauterin yang dihubungkan dengan endometritis sel plasma kronis. Dengan demikian kemungkinan bahwa kolonisasi intrauterin yang dihubungkan dengan kelahiran preterm spontan ada pada saat konsepsi. Penting untuk menekankan bahwa sebagian besar dari infeksi saluran genital atas tetap asimtotik tidak ditemukan demam, uterus lunak, atau leukositosis darah tepi.
Jika organisme intrauterin tidak dibersihkan dalam empat sampai delapan minggu sesudah membran yang meluas menutup rongga endometrial dekat pertengahan kehamilan, infeksi itu sering menjadi simtomatik dan mengakibatkan persalinan preterm atau selaput ketuban pecah. Bila organisme telah ada dalam uterus dirusak dengan sistem kekebalan ibu, beberapa infeksi intrauterin terjadi selama selaput ketuban tetap utuh, karena organisme tidak lagi naik dari vagina ke uterus. Meskipun belum terbukti, hipotesis ini bisa menjelaskan bahwa ada hubungan antara infeksi dan persalinan awal dan kejarangan relatif dari infeksi intrauterin ketika wanita mendekati waktu kelahiran. Hipotesis alternatif untuk menjelaskan hubungan ini dihubungkan dengan waktu mulainya respon kekebalan janin. Mungkin bahwa hanya dengan sistem kekebalan yang matang janin mampu untuk menghasilkan sitokin atau respon hormon yang diperlukan untuk memulai persalinan.

 BACTERIAL VAGINOSIS
Wanita dengan Bacterial vaginosis, terjadi penurunan spesies laktobbasilus yang normal dan peningkatan besar-besaran pada organisme lain, termasuk G.vaginalis, spesies bakteriosida, spesies mobiluncus, U.realyticum dan M. hominis, dapat meningkatkan risiko persalinan preterm spontan. Tidak diketahui apakah vaginosis bakterial berhubungan dengan peningkatan konsentrasi dari elastase, musinase, dan sialidase pada vagina dan servik. Namun demikian, karena mayoritas wanita yang mendapatkan persalinan preterm spontan awal memiliki organisme dalam uterus, mungkin tidak perlu untuk menyatakan aksi lokal dari infeksi vagina sebagai sebab dari persalinan preterm. Lebih mungkin bahwa vaginosis bakterial adalah penanda dari kolonisasi intrauterin dengan organisme serupa. Jika hanya infeksi vagina (tanpa infeksi asenden) atau infeksi seperti periodontitis dan infeksi saluran kecing menyebabkan persalinan preterm spontan, mekanismenya belum diketahui. Satu penjelasan yang mungkin adalah aktivasi dari respon inflamasi lokal dengan sitokin atau endotoksin yang dibawa dalam darah dari vagina ke uterus.
MEKANISME PERSALINAN PREMATUR KARENA INFEKSI
Data dari studi pada hewan, secara in vitro dan studi pada manusia semua memberikan gambaran yang tetap bagaimana infeksi bakteri mengakibatkan persalinan preterm spontan. Invasi bakteri ruang koriokesidual, bakteri melalui pelepasan endotoksin dan eksotoksin, mengaktifkan desidual dan membran janin untuk menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk faktor nekrosis tumor a, interleukin-1a, inter­leukin-1b, interleukin-6, interleukin-8 dan faktor perangsang koloni granulosit. Lebih lanjut, sitokin, endotoksin, dan eksotoksin merangsang sintesis dan pelepasan prostaglandin dan juga memulai  kemotaksis neutrofil, infiltrasi dan aktivasi yang berpuncak pada sintesis dan pelepasan metaloprotease dan bahan bioaktif lainnya. Prostaglandin merangsang kontraksi uterus sementara metaloprotease menyerang membran korioamniotik, yang menyebabkan selaput ketuban pecah. Metaloprotease juga mengadakan kolagenasi pada servik dan melunakkan servik.
Cara lain mungkin juga berperanan. Misalnya, prosta­glandin dehidrogenase pada jaringan korion menonaktifkan prostaglandin yang diproduksi dalam amnion, mencegahnya mencapai miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korion menurunkan aktivitas dehidrogenase, yang menyebabkan peningkatan jumlah prostaglandin untuk mencapai miometrium. Jalur lain bagaimana infeksi bisa menyebabkan persalinan preterm melibatkan janin itu sendiri. Pada janin dengan infreksi, kenaikan produksi hormon pelepas kortikotropin pada hipotalamus dan plasenta menyebabkan kenaikan sekresi kortikotropin, yang selanjutnya meningkatkan produksi korti­kosol adrenal janin. Peningkatan sekresi kortisol mengaki­batkan kenaikan produksi prostaglandin. Begitu juga ketika janin itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin janin ditingkatkan dan waktu persalinan menurun nyata. Namun demikian, kontribusi relatif dari ibu dan janin terhadap respon inflamasi secara keseluruhan tidak diketahui.
 
 





















PENANDA INFEKSI
Infeksi intrauterin sering kronis dan biasanya asimtotik sampai persalinan mulai atau selaput ketuban pecah. Bahkan selama persalinan, sebagian besar wanita yang ditunjukkan kemudian (dengan temuan hiostologi atau kultur) menderita korioamnionitis tidak memiliki gejala lain selain persalinan preterm, tidak ada demam, sakit perut, atau leukositosis darah tepi, dan biasanya tidak ada takikardi janin. Dengan demikian, mengidentifikasi wanita dengan infeksi intrauterin adalah suatu tantangan. Bahan-bahan yang ditemukan dalam kuantitas tidak normal pada carian amniotik dan di tempat lain pada wanita dengan infeksi tercantum dalam tabel 1.
 
 
















Tempat infeksi yang paling baik diteliti adalah cairan amniotik. Selain berisi bakteri, cairan amnion dari wanita dengan infeksi intrauterin memiliki konsentrasi glukose yang lebih rendah, jumlah sel darah putih yang lebih tinggi dan konsentrase komplemen C3 dan berbagai sitokin yang lebih tinggi dibanding cairan dari wanita yang tidak terinfeksi. Namun demikian, mendeteksi bakteri atau mengukur sitokin dan analit lain dalam carian amnion membutuhkan amniosentesis dan tidak jelas bahwa amniosentesis meningkatkan outcome dari kehamilan, bahkan pada wanita dengan gejala persalinan preterm. Saat ini tidak tepat untuk mendapatkan cairan amniotik secara rutin untuk menguji infeksi intruterin pada wanita yang tidak dalam persalinan.
Hasil positif  pada tes sekresi vagina untuk vaginosis bakterial, apakah dilakukan dengan pewarnaan gram atau dengan penggunaan kriteria Amsel (discharge vagina homogen, sel darah putih yang dikelilingi bakteri, bau amina ketika cairan vagina dicampur dengan kalium hidroksida, dan pH diatas 4,5) dihubungkan dengan infeksi intrauterin dan memprediksi persalinan preterm. Pada wanita dengan persalinan preterm dan wanita asimtotik, hasil positif pada tes sekresi vagina atau serviks untuk fibronektin, suatu protein membran plasenta, tidak hanya prediktor terbaik dari persalinan preterm spontan, tapi juga terkait kuat dengan korioam­niotitis berikutnya dan sepsis neonatal. Diyakini bahwa infeksi intrauterin menganggu membran dasar koriodesidual, yang menyebabkan kebocoran protein ini kedalam servik dan vagina.
Pada wanita dengan gejala persalinan preterm, konsen­trasi tinggi dari sitokin pada vagina atau sekresi servik, antara lain faktor nekrosis tumor a, interleukin-1, interleukin-6, dan interleukin-8, dihubungkan dengan persalinan preterm awal. Pada wanita yang menerima perawatan pranatal rutin, konsentrasi servik tinggi dari interleukin-6 juga memprediksi persalinan preterm berikutnya dan menambah nilai prediktif dari pengukuran fibronektin. Namun demikian, selain menguji vaginosis bakterial, tidak ada tes vagina atau servik umum digunakan untuk memprediksi infeksi intrauterin.
Servik pendek, seperti ditentukan dengan ultrasonografi, berhubungan dengan beberapa penanda infeksi dan korioamnionitis. Meskipun servik pendek mungkin memfasilitasi kenaikan bakteri ke uterus, juga mungkin bahwa pada beberapa wanita servik memendek dalam merespon infeksi saluran genital atas yang telah terjadi. Namun demikian, karena persalinan preterm awal karena infeksi mungkin bisa dibedakan dari persalinan preterm karena servik yang tidak cukup secara struktural, ini tetap tidak pasti apakah panjangnya servik memendek sebelum atau sesudah infeksi uterin yang tidak terdeteksi.
Wanita dengan gejala persalinan preterm yang kemudian melahirkan preterm memiliki konsentrasi serum tinggi dari interleukin-6, interleukin-8 dan faktor nekrosis tumor a. Diantara wanita tanpa gejala persalinan preterm yang diperiksa secara rutin, faktor perangsang koloni granulosit adalah satu-satunya sitokin yang konsentrasi bersirkulasinya dalam serum telah ditemukan tinggi sebelumnya permulaan persalinan preterm. Penanda nonsitokin dari infeksi meliputi protein reaktif C serum yang tinggi dan konsentrasi feritin yang tinggi. Pada wanita yang menerima perawatan pranatal rutin, konsentrasi feritin serum yang rendah adalah indikasi simpanan besi yang rendah, tetapi konsentrasi feritin serum tampak merepresentasikan reaksi fase akut dan memprediksi persalinan preterm. Konsentrasi feritin serum juga bertambah dalam seminggu sesudah pecah membran, mungkin mengindikasikan infeksi intrauterin progresif. Konsentrasi feritin servik yang tinggi juga memprediksi persalinan preterm spontan berikutnya.
Diantara penanda infeksi intrauterin, vaginosis bakterial dan riwayat persalinan preterm awal dapat ditentukan sebelum kehamilan. Sebelum 20 minggu gestasi, vaginosis bakteri, konsentrasi fibronektin yang tinggi pada cairan vagina dan servik pendek telah dihubungkan dengan infeksi kronis. Segera sesudah  kehamilan pertengahan, pada wanita yang melahirkan, konsentrasi fibronektin servik atau vagina yang tinggi, servik pendek, konsentrasi tinggi beberapa sitokin pada cairan vagina  dan konsentrasi feritin telah dihubungkan  dengan peningkatan risiko persalinan preterm spontan. Akhirnya, persalinan preterm antara 20-28 minggu gestasi sangat berhubungan dengan infeksi intrauterin dan hubungan ini bahkan lebih kuat diantara wanita dengan servik pendek, konsentrasi tinggi fibronektin servik atau vagina, atau konsentrasi tinggi berbagai sitokin pada cairan amniotik, servikal atau vaginal atau pada serum.
Meskipun ada korelasi ini, tidak ada dari penanda ini telah ditemukan berguna pada pengembangan strategi untuk mengurangi prematuritas atau memperlambat persalinan diantara wanita dengan atau tanpa gejala persalinan, kecuali wanita berisiko tinggi yang memiliki vaginosis bakterial bisa menerima manfaat dari perlakuan antibiotik. Untuk alasan ini, pengukuran dari penanda lain dalam usaha untuk mengurangi frekuensi persalinan preterm tidak diindikasikan.
PENGOBATAN INFEKSI UNTUK MENCEGAH PERSALINAN PRETERM
Pada awal 1970an, pemakaian yang panjang tetrasiklin, mulai pada trimester tengah ditemukan mengurangi frekuensi persalinan preterm pada wanita yang memiliki bakteriuria asimtotik dan simtomatik. Pemakaian ini dihentikan mungkin karena menyebabkan displasia gigi dan tulang. Hasil pengobatan  dengan eritromisin, yang mentargetkan ureaplasma atau mikoplasma dalam vagina atau servik, telah bercampur. Harus dicatat bahwa ureaplasma adalah bagian dari mikroflora vagina di  banyak wanita, dan kehadirannya pada saluran genital bawah, tidak seperti keberadaannya pada saluran genital atas, tidak dikaitkan dengan kenaikan risiko persalinan preterm spontan.
Dalam tahun-tahun terakhir, percobaan pengobatan pranatal untuk pencegahan persalinan preterm difokuskan pada vaginosis bakterial, dengan  hasil yang menarik namun bercampur. Hasil keseluruhan menunjukkan bahwa pada wanita dengan persalinan preterm sebelumnya dan dengan vaginosis bakterial yang didiagnosis untuk satu minggu atau lebih pada trimester kedua, pengobatan satu minggu atau lebih dengan metronidazole oral dan mungkin dengan eritromisin, menghasilkan pengurangan signifikan pada insidensi persalinan preterm. Tidak ada pengurangan signifikan pada persalinan preterm ketika antibiotik diberikan secara vaginal, ketika perjalanan pendek antibiotik atau rejimen antibiotik yang tidak mencakup metronidazole digunakan atau ketika wanita yang diberi obat berada pada resiko rendah (biasanya tidak memiliki persalinan preterm sebelumnya).
Untuk wanita dengan selaput ketuban utuh dan dengan gejala persalinan prematur, pengobatan antibiotik biasanya tidak menunda persalinan, mengurangi risiko persalinan prematur atau memperbaiki outcome neonatal. Dalam percobaan ini, wanita biasanya diobati dengan penisilin dan derivatif sepalosporin atau eritromisin. Namun demikian, pada dua percobaan acak kecil, pengobatan metronidazole yang diperpanjang ditambah ampisilin menghasilkan penundaan yang penting sampai persalinan, kenaikan 200 sampai 300 g pada rata-rata berat bayi baru lahir, pengurangan insidensi persalinan prematur dan pada morbiditas neonatal yang lebih rendah, bila dibandingkan dengan plasebo. Karena perhatian kita mengenai penggunaan antibiotik berlebihan pada kehamilan dan sampel kecil pada kedua studi, kita  enggan untuk merekomendasikan perubahan dalam praktek saat ini.
Wanita dengan ketuban pecah dini, mencegah persalinan preterm bukan alasan yang masuk akal, namun demikian, ada bukti substansial bahwa perlakuan antibiotik dari wanita ini selama seminggu atau lebih meningkatkan secara signifikan waktu persalinan dan mengurangi insiden korioamnionitis dan memperbaiki berbagai ukuran morbiditas neonatal. Hal serupa, pada wanita yang menguji positif untuk streptokokus grup B pada vagina, ada bukti bahwa pengobatan penisilin selama persalinan mengurangi laju sepsis streptokokus grup B neonatal, tetapi tidak persalinan preterm spontan.
KESIMPULAN
Bertambahnya pengetahuan mengenai infeksi dan persalinan preterm telah memunculkan banyak pertanyaan dan menunjukkan strategi baru untuk pencegahan. Belum diketahui bagaimana dan kapan bakteri menyerang uterus dan apakah infeksi tambahan dengan virus, protozoa, atau bakteri selain yang telah dijelaskan terlibat dalam persalinan preterm. Memiliki lebih banyak informasi mengenai kronisitas infeksi uterin sebelum dan selama kehamilan dan mekanisme dengan mana ibu dan janin merespon pada infeksi bakterial adalah penting untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik mengenai infeksi ini. Karena infeksi saluran genital atas umumnya asimtotik, diperlukan penanda yang lebih jelas untuk mengidentifikasikan wanita dengan infeksi ini untuk studi dan intervensi. Akhirnya, pemahaman yang lebih dalam mengenai hubungan antara infeksi intrauterin dan persalinan preterm spontan akan memungkinkan penelitian klinis dari perlakuan untuk mengurangi persalinan preterm spontan dan morbiditas dan mortalitas jangka panjang yang terkait.




Daftar Pustaka

  1. Gibbs R, Eschenbach D.Use of antibiotics to prevent preterm birth.Am J Obstet Gynecol 1997,177: 37580
  2. Delancey, John O.L.: Metronidazol to prevent preterm delivery in pregnant women with asymtomatic bacterial vaginosis, New England Journal of Medicine, 2000 342:534-540
  3. Hay PE, Lamont RF,Taylor-Robinson D,Morgan DJ, Ison C, Pearson J: Abnormal bacterial colonization of genital trac and subsequent preterm delivery and late miscariage.BMJ 1994; 308:295-8
  4. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW: Intrauterine infection and preterm delivery, New England Journal of Medicine, 2000;342:1500-17
  5. Klebanoff MA, Carey JC, Hauth JC, Hillier SL,et al. Failure of metronidazol to prevent preterm delivery among pregnant women with asymtomatic trichomonas vaginalis infection, New England Journal of Medicine, 2001;345:487-493
  6. Romero R, Oyarzun E, Mazor M, Sirtori M,Hobbins, JC, Braken M. Meta-analysys of the relationship between asymptomatic bacteriuria and preterm delivery/low birth weight, Obstet Gynecol 1989;73: 576-82
  7. Holst E, Goffeng AR, Andersch B. Bacterial Vaginosis and vaginal microorganisms in idiopathic premature labor and association with pregnancy outcome, J Clin Microbil 1994;32:176-186
  8. Mazor M, Chaim W, Maymon E et al. The role of antibiotic therapy in the prevention of prematurity, Clin Perinatol 1998,25:65965

Tidak ada komentar:

Posting Komentar