Laman

Jumat, 28 Oktober 2011

Tubo-ovarian Abscess : Apakah Ukuran Abses Berkaitan terhadap Komplikasi dan Lamanya Jumlah Rawatan di Rumah Sakit?

Tubo-ovarian abscess adalah akumulasi  suatu keadaan penyakit inflamasi akut pelvis di mana kondisi tersebut dikarakteristikan dengan adanya massa pada dinding pelvis yang mengalami inflamasi. Sepertiga sampai setengah pasien dengan TOA mempunyai riwayat PID1,2. PID dan TOA merupakan infeksi dari polymicrobial bakteri aerobic dan anaerobic. Di mana Neissheria gonorrhoeeae dan klamidia trakomatis merupakan bakteri yang berperan dalam hal ini menginfeksi abses3,4. Namun lebih banyak bakteri yang berperan adalah Escherisia koli dan spesies dari Batroides.
TOA merupakan komplikasi dari PID sekitar 15% kasus dan 33%  kasus PID yang akhirnya menjadi TOA.  Kematian akibat TOA sangat menurun dengan dratis selama 50 tahun ini. Namun, angka kesakitan (morbidity) yang berhubungan dengan TOA meningkat secara signifikan dengan komplilasi termasuk infertility, kehamilan ektopik,  chronic pelvic pain, pelvic thrombophlebitis dan ovarian vein thrombosis6.
Kebanyakan TOA respon terhadap terapi antibiotika, di indikasikan sekitar 25% kasus pembedahan atau drainase7. Terdapat beberapa bukti bahwa ukuran dari TOA berhubungan dengan kebutuhan akan antibiotika sebagai intervensi. Reed dkk 1991, mengatakan bahwa 35% abses dengan ukuran 7-9cm memerlukan tindakan pembedahan dan hamper 60% abses dengan ukuran > 10cm dilakukan tindakan pembedahan8. Tujuan dari penelitian ini untuk menilai hubungan antara ukuran TOA terhadap lamanya rawat inap dan intervensi tindakan pembedahan. Hypothesis sementara mengatakan bahwa ukuran dari TOA berhubungan dengan lamanya perawatan dirumah sakit dan peningkatan terhadap tindakan pembedahan dan drainase.
Metode
Dilakukan penelitian secara retrospektif terhadap wanita yang terdiagnosis dengan  TOA yang dipondokkan di RS Barnes-Jewish Saint Louis, Missouri dari tanggal 1 january 1999 sampai 31 Desember 2005. Dikumpulkan dengan memakai kode pada ICD 9 dengan 614.9 (PID) dan 614.2 (TOA). 373 pasien dimasukkan dalam penelitian ini. Kriteria inklusi (1) adanya massa inflamasi pada pelvis (2) umur lebih dari 17 tahun (3) dan dipondokkan di RS Barnes-Jewish. Kriteria exklusi pada kasus ini adalah pasien yang tidak teridentifikasi adanya massa inflamasi pada pelvis.  Data digambarkan pada demography, test diagnostic, imaging, perawatan dan tanda-tanda klinis. Imaging disini dimaksudkan adalah hamper seluruh kasus yang diperiksa mempunyai data ultrasonography, CT scan atau MRI. Hampir lebih setengah kasus menggunakan fasilitas Imaging ini. Satu abses yang tidak teridentifikasi pada Imaging preoperative , teridentifikasi pada saat laparatomy. Demam lebih dari 38,2°C. Komplikasi yang dibagi sebagai factor-faktor yang menyebabkan lamanya jumlha hari rawat inap, komplikasi perawatan di intensive care unit (ICU), trauma pada usus dan vesika urinaria, transfusi darah, kehilangan darah >1000mL, sepsis  atau bakteremia, ileus, mondok kembali ke RS, dan kematian.
            Abses dibagi atas 2 grup yaitu <8 cm dan > 8 cm.  wanita dengan besar dan kecilnya abses dibandingkan dengan  lamanya mondok, intervensi pembedahan dan komplikasi yang lain. Inisial antibiotika yang termasuk dalam penelitian ini adalah (1) sefoksitin dan doksisiklin, (2) siprofloksasin dan metronidazole, (3) gentamisin dan klindamisin dan (4) lainnya.
Hasil
Dari 373 pasien yang diteliti, 135 pasien teridentifikasi TOA di mana 218 pasien masuk dalam kriteria eksklusi karena tidak adanya abses. Karakteristik demograpi dan reproduktiv ditampilkan dalam table 1. Rata-rata umur  35,2 tahun (SD 10,0) dan rata-rata gravid dan paritas 1,96 (SD1,76) dan 1,52(SD 1,64). Lebih dari dua pertiga terjadi pada orang kulit hitam dan 10% mempunyai riwayat kedua tuba sudah diligasi.
Karakteristik klinis dari populasi yang diteliti ditampilkan dalam table 2. Kebanyakan gejala klinis yang hadir adalah nyeri (94%) dengan lamanya sekitar 3 hari. Hanya sekitar 27% dari pasien yang mengeluh demam. Rata-rata white blood count (WBC) 14,2 (SD 5,9) dengan 27% memiliki WBC < 10.000. Beberapa partisipan memiliki test yang positif terhadap bakteri N. Gonorrhoe (12%) dan klamidia trakomatis (14%).  Pemeriksaan dengan Imaging  banyak digunakan pada kasus CT (79%) atau dengan ultrasound (70%). MRI digunakan hanya 3 kasus saja (2%). Ada beberapa kasus yang tidak menggunakan Imaging, TOA terdiagnosis pada saat dilakukan seksio sesarean dan ligasi tuba bilateral dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan pathology anatomi. Ukuran abses dari 1,5 sampai 16 cm dengan rata-rata 6,7 cm. Kebanyakan (51%) abses antara 5 cm dan 8 cm di mana dua pertiga abses unilateral. Sementara sepertiganya terdapat abses bilateral, dengan maksimal diameter abses terkecil 8 cm.
Perbandingan antara pasien dengan abses <8 cm dan >8 cm  (table 3). Dari 135 pasien dengan TOA , 112 (83%) memiliki abses <8 cm dan 23(17%) memiliki abses >8 cm. Pasien dengan abses yang besar, rata-rata memiliki waktu mondok yang lama, dan komplikasi yang banyak, demam yang lama, dan peningkatan kebutuhan pembedahan dan drainase  jika dibandingkan dengan abses yang lebih kecil. Setiap peningkatan 1 cm pada abses berhubungan dengan peningkatan jumlah mondok sekitar 0,4 hari (P=,001). Rata-rata ukuran abses yang dibutuhkan untuk tindakan pembedahan atau drainase  sekitar 7,7 cm versus 6,3 cm (P=,02). Diantara grup abses yang besar, sekitar 7 kasus hysterectomy (30%), dan 8 kasus (35%) yang dilakukan simple adnexectomy. Sementara itu pasien dengan ukuran abses < 8 cm memiliki komplikasi yang sedikit (9%) dibandingkan dengan yang memiliki abses >8 cm (35%, P<,01). Pasien sering mengeluh lebih dari 1 komplikasi, 18 pasien memiliki 35 komplikasi. Kebanyakan komplikasi adalah transfusi darah pada 14 pasien (10%). Tidak terdapat kematian.  Pasien dengan abses yang besar memiliki komplikasi demam yang lama dibandingkan dengan abses yang kecil (1,35 versus 1,10 hari, P=,65).
Pasien yang dievaluasi dengan inisial antibiotika (table 4).  57 pasien yang diberikan sefoksitin dan doksisiklin dan sekitar 915 berhasil dilakukan manajemen konservatif. Pasien yang diberikan sefoksitin dan doksisiklin sedikit yang dilakukan tindakan pembedahan dan drainase. Ini berlawanan dengan regimen antibiotika yang lain di mana rata-rata memerlukan tindakan pembedahan dan drainase pada pasien dengan ukuraan kecil dan besar. Relative risk   untuk sefotiksin dan doksisikline sekitar 0,21 (95% CI 0,09-0,48) berdasarkan umur dan jumlah antibiotika yang digunakan.
Diskusi
Ditemukan bahwa ukuran TOA berhubungan dengan outcomes   termasuk komplikasi dan lamanya rawat inap serta peningkatan akan tindakan pembedahan dan drainase jika dibandingkan pasien dengan ukuran abses yang kecil. Reed dkk, mengatakan bahwa peningkatan ukuran abses berhubungan dengan manajemen tindakan operative8. Dikatakan pada penelitian ini sekitar 43% mengalami kegagalan jika abses nya >8 cm, sementara Reed dkk  mengatakan 35% gagal  jika absesnya berukuran anatar 7 sampai 9 cm dan hamper 60% gagal jika ukuran absesnya >10 cm. Gjelland dkk mengatakan bahwa perawatan akan berhasil bila ukuran abses dengan diameter maximal <3 cm. Pada penelitian ini direkomendasikan drainase transvaginal sebagai prosedur first line(10).
Secara umum, perawatan terhadap TOA adalah tindakan  bilateral oophorectomy dan hysterectomy.  Manajemen secara medikamentosa dengan pemberian antibiotika broad spectrum secara umum direkomendasi untuk manajemen pada TOA yang belum pecah11. Walau bagaimanapun, perawatan yang optimal pada TOA belum begitu jelas. The 2006 Center For Disease Control and Prevention Sexually Transmittede Disease Treatments Guidelines merekomendasikan pemberian antibiotika kurang dari 24Jam secara intra vena.  Tidak terdapat spesifik antibiotika yang direkomendasikan. Namun CDC menyarankan bahwa klindamisin atau metronidazole digunakan dengan doksisiklin selama 14 hari perawatan untuk merecovered bakteri gram negative anaerobs12. Tindakan pembedahan direkomedasikan apabila terdapat kegagalan terhadap respon antibiotika dalam 48 jam sampai 72 jam9.
Prosedur drainase meningkatkan evaluasi terhadap manajemen TOA. Kebanyakan direkomendasikan pada manajemen TOA adalah drainase setelah tindakan konservatif gagal9. Walau demikian, beberapa penelitian menunjukan bahwa tindakan drainase yang dilakukan dari awal terhadap semua TOA lebih aman dan meningkatkan outcomes nya10,13 dan lebih sesuai sebagai terapi primer 14. Gjelland dkk, melakukan observasi secara retrospektif bahwa dari 302 kasus  yang dilakukan drainase transvaginal dikombinasi dengan antibiotika , 93% pasien bias terhindar dari komplikasi dan tindakan pembedahan major10. Perez-Media melakukan penelitian secara randomisasi terhadap 40 wanita  yang dilakukan manajemen konservatif versus terapi antibiotika ditambah dengan tindakan tranvaginal drainase lebih awal pada pasien dengan TOA yang belum pecah dan ditemukan bahwa responnya berhasil 90% dibandingkan dengan 65% pada kelompok control (P-value <,05)15. Lebih dari itu ditemukan bahwa drainase transvaginal berhubungan dengan pendeknya jumlah hari perawatan di rumah sakit dan penurunan angka kesakitan (morbidity). Pada penelitian ini hanya diobesrvasi 11 pasien yang dilakukan tindakan drainase tidak sebagai perawatan primer.
     Regimen antibiotika yang digunakan pada TOA , Wiesenfeld dan Sweet membuat suatu kesimpulan yang mempunyai respon terhadap penggunaan antibiotika  di mana menunjukan 72% berhasil pasien yang diberikan klindamisin dan aminoglycoside (n=101) versus 82% yang diberikan terapi sefoksitin atau cefotetan dan doksisikline (n=62) (6). Dan sekitar 95 pasien yang di terapi dengan sefoksitin dan doksisiklin memerlukan tindakan pembedahan dan drainase. 

Original From My REFERAT GINEKOLOGI III Diambil dari Clinical Study : Tuboovarian Abscesses : Is Size Associated with Duration of Hospitalization & Complications? (Jason DeWitt, Angela Reining, Jenifer E, Allsworth, and Jeffrey F. Peipert)





1 komentar:

  1. terimakasih buat artikelnya... sangat bermanfaat sob...

    http://cv-pengobatan.com/pengobatan-alami-radang-panggul/

    BalasHapus