Laman

Selasa, 08 November 2011

AMENORHEA ( TIDAK DAPAT MENSTRUASI )

Gangguan menstruasi atau haid merupakan keluhan yang banyak dijumpai di poloklinik endokrinologi ginekologi. Untuk menentukan gangguan atau penyakit yang mendasari terjadinya gangguan haid, maka harus memahami patofisiologi gangguan haid, sehingga dapat ditentukan diaganosa dan penanganan yang rasional 1.
            Menstruasi merupakan perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus wanita usia reproduksi akibat terlepasnya jaringan endometrium. Hal ini merupakan gambaran kematangan seorang wanita dan menandakan awal dan akhir fungsi ovarium. Menstruasi merupakan proses yang kompleks meliputi proses biofisik dan biokimia dan interaksi beberapa hormon, faktor autocrine dan paracrine, fungsi sel reseptor target pada uterus, ovarium, hipofisis, hipotalamus dan susunan sarap pusat.  Gangguan pada salah satu kompartemen siklus haid menyebabkan gangguan haid dan salah satu gangguan haid yang banyak dijumpai adalah amenorea 1,2,3.
Defenisi secara umum amenorea merupakan keadaan tidak haid sedikitnya tiga bulan berturut-turut pada seorang wanita usia reproduksi yang pernah mengalami haid sebelumnya atau seorang wanita yang belum pernah haid pada usia 16 tahun. Amenorea secara umum dibedakan atas amenorea fisiologik, seperti  usia prapubertas, hamil, menyususi dan sesudah menopouse; dan amenorea patologik yang terdiri atas  amenorea primer dan sekunder1,2,3. Dalam referat ini akan dibahas mengenai amenorea patologik.


PEMBAHASAN


            Pengaruh lingkungan luar berupa kegiatan fisik, psikis, cahaya dan bau-bauan melalui korteks serebri akan merangsang hipotalamus menghasilkan beberapa hormon seperti FSH-RH yang merangsang hipofisis mengeluarkan FSH, LH-RH merangsang pengeluaran hormon LH yang kemudian merangsang pematangan sel telur di ovarium. Dibawah pengaruh estrogen dan progesteron yang dihasilkan korpus luteum, maka apabila tidak terjadi pembuahan, korpus luteum akan mengalami degenerasi dan kadar estrogen dan progesteron manurun, sehingga terjadi pelepasan endometrium yang kemudian dikeluarkan melalui rongga rahim, endoserviks dan vagina.  Proses ini diatur oleh suatu sistim yang kompleks dan terintegrasi dengan baik antara faktor biofisik dan biokimia1,2,3 . 
Secara fisiologi ada empat kompartemen yang berperan dalam proses haid dan keempat kompartemen inilah yang menjadi dasar untuk mengevaluasi terjadinya amenorea1, yaitu :
I.                   Kompartemen I : kelainan di saluran keluar kelamin sebagai target organ (uterus dan vagina).
II.                Kompatemen II : kelainan di ovarium
III.             Kompartemen III : kelainan di anterior hipofisis
IV.             Kompaetemen IV : kelainan karena faktor susunan sarap pusat (hipotalamus)
      Etiologi amenorea  adalah sangat kompleks, selain disebabkan kelainan endokrinologi bisa juga disebabkan faktor psikis atau penyakit sistemik lain. Secara umum penyebeb amenorea dibagi dalam sebelas bentuk2 :
No
Kelompok
Penyebab
I
Penyebab secara umum
Pubertas tarda
Insufisiensi kelenjar  hipofisis
Penyakit Non endokrinologik
Penyakit kronik
Intoksikasi
Kurang gizi
Kerja berat
II
Penyebab di vagina
Tidak ada uterus (total/partial)
Atresia himen
III
Penyebab di uterus
Tidak ada uterus
Kelainan congenital
Uterus hipoplasi
Atresia serviks
Atresia cavum uteri
Kerusakan endometrium akibat : kuretase, infeksi dan obat-obatan
IV
Penyebab di ovarium
Tidak ada ovarium
Hipogenesis ovarium
Pengangkatan ovarium
Ovarium polikistik
Insufisiensi ovarium (penyinaran)
Folikel persisten
Tumor ovarium
V
Penyebab di hipofisis
Insufisiensi sekunder : tumor, trauma, post partum (Sindrom Sheehan)
VI
Penyebab di ensefal
Insufisiensi sekunder : tumor , trauma, kegemukan, kekurusan (anoreksia nervosa)
VII
Penyebab di korteks
Trauma psikis
VIII
Penyebab di adrenal
Sindrom adrenogen akibat insufisiensi suprarenal dan tumor
IX
Penyebab di kelenjar tiroid
Hipotiroid/hipertiroid
X
Penyebab di pancreas
Kekurangan insulin
XI
Obat-obatan
Steroid seks atau obat yang meningkatkan kadar PRL

Pemeriksaan dan penanganan amenorea

  1. Anamnesis
Apabila dijumpai amenorea yang pertama  adalah menyingkirkan kemungkinan adanya kehamilan. Selanjutnya dilakukan anamnesis umur, usia menars, menstruasi terakhir,  riwayat kelainan genetik dalam keluarga,  gangguan psikis atau stress emosional, aktifitas fisik berlebihan, menderita  penyakit diabetes mellitus, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi tiroid, diet, penambahan atau pengurangan berat badan, penggunaan psikofarmaka, obat-obatan untuk menurunkan atau menaikkan berat badan dan obat-obatan tradisional. Selain itu ditanyakan perubahan dan timbulnya tanda-tanda seks sekunder serta keluarnya air susu ibu diluar masa purperium1,2,3,6.

b.  Pemeriksaan fisik

            Meliputi pemeriksaan berat badan, tinggi badan, status gizi, pertumbuhan payudara, tanda-tanda seks sekunder seperti pertumbuhan rambut pubis dan ketiak, perut membesar, jerawat, ketombe, pembesaran klitoris, deformitas toraks, bukti adanya penyakit SSP dan galaktorea (keluarnya air susu diluar masa purperium) 1,2,3,6.

Pemeriksaan ginekologi

            Pada pemeriksaan penderita amenorea sangat penting disingkirkan kemungkinan kehamilan. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan genitalia eksterna dan interna, termasuk  tanda-tanda seks sekunder.
Langkah pertama untuk mencari penyebab amenorea, setelah kemungkinan kehamilan dapat disingkirkan adalah melakukan pemeriksaaan hormon TSH, prolaktin, dan uji progesteron. Apabila dijumpai galaktorea maka perlu dilakukan pemeriksaan hormon TSH, prolaktin dan rongent sella tursica. Tujuan pemeriksaan uji progesteron adalah untuk mengetahui kadar estrogen endogen dan saluran keluar alat reproduksi wanita. Bila kadar TSH meningkatkan maka segera dapat ditegakkan diagnosis hipotiroidisme. Kadar TSH dan prolaktin yang normal disertai adanya perdarahan withdrawal mengarah pada diagnosis tidak adanya ovulasi. Kadar prolaktin yang normal dapat menyingkirkan kemungkinan adanya tumor hipofise1.
Langkah kedua bertujuan mencari penyebab perdarahan withdrawal negatif yaitu : dengan pemberian estrogen konjugasi diikuti dengan uji progesteron. Bila tidak ada perdarahan withdrawal maka diagnosis adanya defek pada kompartemen I (endometrium dan saluran keluar) dapat ditegakkan2.
Langkah ketiga bertujuan mencari penyebab ketidakmampuan pasien memproduksi estrogen yang memadai berasal dari defek pada kompartemen II (ovarium) atau kompartemen III dan IV (aksis SSP-hipofise). Untuk memproduksi estrogen, diperlukan ovarium yang mengandung folikel normal dan gonadotropin dalam jumlah yang memadai untuk merangsang folikel. Pengambilan darah untuk menentukan kadar gonadotropin harus dilakukan 2 minggu setelah pemberian estrogen konjugat dan uji progesteron. Kadar FSH dan LH rendah sampai normal dihubungkan dengan amenorea hipotalamik sedangkan kadar FSH dan LH yang tinggi dihubungkan dengan kegagalan ovarium1.
Kondisi Awal
FSH serum
LH serum
Wanita dewasa normal
5 – 30 IU/L, dengan kadar puncak saat ovulasi mencapai 2X kadar basal
5 – 20 IU/L dengan kadar puncak saat ovulasi mencapai 3X kadar basal
Pada keadaan hipogonadotropik :
-          masa pubertas
-          disfungsi hipotalamus-hipofise
< 5 IU/L
< 5 IU/L
Pada keadaan hipergonadotropik :
-          masa postmenopause
-          oophorektomi dan kegagalan ovarium
> 30 IU/L
> 40 IU/L
 

Wanita dengan amenorea sekunder

            Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ginekologi dan tidak ditemukan kelainan organis, dilakukan uji progesteron (Uji P). Diberikan progesteron (medroksi progesteron asetat/MPA, atau noretisteron atau hidrogesteron) dengan dosis 2  x 5 mg selama 7 hari. Uji P positif bila perdarahan terjadi 3 – 4 hari kemudian. Bila setelah 2 – 3 hari pemberian progesteron sudah terjadi perdarahan, maka progesteron tidak dilanjutkan. Uji  P positip berarti uterus dan endometrium normal, vagina dan himen normal, ada ovarium dengan pertumbuhan folikel yang normal dan secara tidak langsung dapat diartikan fungsi hipofisis dan fungsi hipotalamus normal. Amenorea pada wanita dengan uji P positip terjadi karena disregulasi hipotalamus – hipofisis, kemungkinan besar karena gangguan sisitim umpan balik poros hipotalamus – hipofisis. Bila  kadar FSH dan prolaktin normal, tetapi LH tinggi kemungkinan wanita tersebut menderita sindroma ovarium polikistik1,2,3.

Wanita dengan uji Progesteron negatif dilakukan uji estrogen + progesteron dengan memberikan estogen (estrogen konjugasi atau estrogen valerinat atau etinilestradiol) 1 x 1 tablet perhari selama 21 hari dan pemberian progesteron 5 – 10 mg perhari pada hari ke-12 – 21. Uji estrogen dan progesteron paling sederhana adalah dengan pemberiaan pil KB. Uji estrogen + progesteron positip apabila 2 – 3 hari terjadi perdarahan. Apabila uji estrogen + progesteron positip berarti wanita tersebut hipoestrogen  pengobatan dilanjutkan dengan pemberiaan estrogen selama 25 hari dan dari hari ke-19 – 25 diberikan progesterone 1,2,3,4,5.

                        Uji E + P positip artinya wanita tersebut hipoestrogen karena terganggunya pembentukan estrogen di folikel. Untuk mengetahui penyebab terganggunya pembentukan estrogen di folikel dilakukan pemeriksaan hormon FSH, LH.dan prolaktin.  Apabila uji estrogen + progesteron negatip sebaiknya dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari penyebab gangguan tersebut1,2,3,4,5.

                        Wanita dengan uji Progesteron positif yang belum menginginkan anak diberikan progesteron dari hari ke-16 sampai hari ke-25 siklus haid, diberikan selama 3 siklus berturut-turut. Setelah itu dilihat apakah siklus haid menjadi normal kembali, bila kemudian terjadi lagi gangguan haid atau amenorea, maka perlu pemeriksaan lanjutan untuk mencari penyebab amenorea tersebut. Wanita yang ingin punya anak tidak dianjurkan pemberian progesteron, tetapi dianjurkan pemberiaan obat-obatan pemicu ovulasi seperti klomifen sitrat, epimestrol ataupun gonadotropin1,2,3,4,5.



Uji hMG
 Dilakukan bila FSH dan LH sangat rendah, maka dilakukan uji hMG untuk memicu fungsi ovarium, dimana ovarium yang normal akan memproduksi estrogen yang dapat diperiksa melalui urin atau darah.
Hasil uji hMG positif : amenorea terjadi karena kurangnya produksi gonadotropin di hipofisis atau produksi LH-RH di hipotalamus  atau gangguan sentral.
Hasil uji hMG negatif : ovarium tidak memiliki folikel atau memiliki folikel tetapi tidak sensitip terhadap gonadotropin, seperti pada sindroma ovarium resisten2,5.
            Bila FSH, LH normal sampai rendah dan prolaktin tinggi, maka diagnosis adalah amenorea hiperprolaktinemia dengan salah satu penyebab adalah tumor hipofisis (prolaktinoma). Pada amenorea normoprolaktin kadar prolaktin, FSH dan LH normal, maka selanjutnya dilakukan uji stimulasi dengan klomifen sitrat (uji klomifen) dengan memberikan 100 mg/ hari selama 5 – 10 hari. Uji klomifen positif bila setelah hari ketujuh pemberiaan klomifen terjadi peningkatan kadar FSH,LH dan estradiol. Hal ini menunjukkan fungsi hipofisis normal. Uji klomifen negatif  selanjutnya dilakukan uji stimulasi dengan LH-RH untuk mengetahui fungsi parsial adenohipofisis, apakah sel-sel yang memproduksi FSH dan LH mampu mengeluarkan FSH dan LH bila diberikan LH-RH dari luar. Uji LH-RH dikatakan positif bila dijumpai kadar FSH dan LH normal atau tinggi setelah pemberian LH-RH dari luar. Hal ini berarti amenorea terjadi karena gangguan di hipotalamus, sedangkan apabila uji LH – RH negatip berarti gangguan terjadi di hipofisis.

Amenorea Primer

            Definisi amenorea primer adalah seorang wanita yang belum pernah haid pada usia 14 tahun dengan pertumbuhan seksual sekunder belum tampak atau telah mencapai usia 16 tahun dengan pertumbuhan seksual sekunder yang sudah tampak.
            Untuk mendiagnosis amenorea primer selain dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan ginekologis, maka sangat penting dilakukan pemeriksaan kariotip  (sitogenetik).    

Amenorea Sekunder

      Definisi amenorea sekunder adalah seorang wanita usia reproduksi yang pernah mengalami haid namun haid berhenti tiga bulan berturut-turut.
      Pembagian berdasarkan penyebabnya sesuai dengan fisiologi haid, maka ada empat kompartemen yang mengalami gangguan sehingga terjadi amenorea, yaitu :

I.                   Kompartemen IV susunan saraf pusat
a. Amenorea hipotalamik4
Adalah suatu sindroma klinis yang ditandai dengan amenorea, hipoestrogenisme dan serum gonadotropin normal atau rendah.. Kelainan ini ditandai dengan pola sekresi berdenyut GnRH endogen yang abnormal oleh karena gangguan fungsional mekanisme saraf (sistim neurotransmiter pusat). Neurotransmiter yang turut mempengaruhi sekresi GnRH adalah opioid endogen seperti beta endorphin. Selama siklus menstruasi yang normal terbukti terjadi peningkatan kadar beta endorphin mencapai maksimal pada saat pre ovulasi dan akan mengalami penurunan segera setelah terjadi ovulasi. Peningkatan sekresi opioid diduga menyebabkan terjadi amenorea hipotalamik pada beberapa wanita, karena blokade pada reseptor opiat terbukti meningkatkan frekuensi dan amplituda sekresi LH. Penelitian dengan immortalized human GnRH-secreting neuron cell lines menunjukkan sel neuron yang mensekresi GnRH memiliki reseptor opiat dan penelitian lain pada hewan coba menunjukkan bahwa blokade pada reseptor tersebut dapat merangsang terjadinya amenorea.  Timbulnya amenorea hipotalamik yang ditandai dengan perubahan sekresi LH yang berfluktuasi  tersebut menggambarkan hipersensitivitas neuron yang mensekresi GnRH terhadap perubahan kadar opioid. Pada wanita dengan amenorea hipotalamik, sekresi  LH yang berfluktuasi tersebut tidak cukup untuk merangsang terjadinya ovulasi maupun folikulogenesis.. Sekresi GnRH dipengaruhi juga oleh norepinephrine. Diduga opiat endogen menekan rangsangan norepinephrine pada neuron hipotalamus untuk mensekresi GnRH.
Gaya hidup yang sering dihubungkan dengan terjadinya amenorea hipotalamik seperti olah raga, stres dan penurunan berat badan terbukti merangsang perubahan kadar beta endorphin plasma yang akan mempengaruhi neuron yang mensekresi GnRH pada hipotalamus. Di Amerika Serikat amenorea hipotalamik ini diperkirakan 48% sebagai penyebab amenorea sekunder dan mempunyai makna klinis yang penting karena hipoestrogenisme yang terjadi dihubungkan dengan penurunan densitas tulang atau osteoporosis.
Penanganan amenorea hipotalamik tergantung dari faktor penyebab yang mendasarinya. Penyebab organik diobati  dengan mengkoreksi penyebabnya, sedangkan kelainan fungsional dapat diobati dengan konseling, psikoterapi, misalnya dengan miminimalkan stresor lingkungan dan mengubah gaya hidup serta penggunaan obat-obat psikofarmaka. Pemberian estrogen dan progesteron siklik dapat diberikan agar wanita tersebut tetap berfungsi sebagai wanita.

b.      Anoreksia Nervosa
Suatu gangguan tingkah laku yang berat dimana terjadi perubahan endokrin sekunder sebagai akibat gangguan psikologis dan gizi, ditandai oleh malnutrisi yang berat dan hipogonadotropisme. Penanganan psikiatrik dengan psikoterapi dan obat-obatan antidepresan serta perawatan di rumah sakit.

c.       Amenorea pada atlet
Amenorea terjadi oleh karena aktifitas fisik yang berat dan terjadi kehilangan berat badan. Umumnya kelainan menstruasi ini akan hilang dengan mengurangi aktifitas fisik dan kembali keberat badan alami.

II. Kompartemen III Hipofisis (Amenorea hipofisis)
     Kecurigaan adanya gangguan pada kompartemen III terlebih dahulu harus difokuskan pada adanya tumor hipofise. Kecurigaan adanya tumor hipofise meningkat bila dalam pemeriksaan dijumpai tanda klinis akromegali (karena sekresi hormon pertumbuhan yang berlebihan) dan penyakit Cushing’s (karena sekresi ACTH yang berlebihan). Amenorea dan atau galaktorea dapat mengawali tanda klinis akromegali dan penyakit Cushing’s. Sebagian besar penderita dengan adenoma hipofise mengalami penurunan kadar gonadotropin karena tekanan tumor pada hipofise  dan peningkatan sekresi prolaktin (akibat ketidakmampuan dopamin mencapai hipofise anterior)1,2,3.
      Penyebab lain amenorea hipofisis adalah adanya guma, tuberkuloma dan deposit lemak pada hipofise, serta insufisiensi hipofise akibat iskemia dan infark karena perdarahan (sindroma Sheehan).  

Adenoma Hipofise yang mensekresi Prolaktin

            Merupakan adenoma hipofise yang paling seringditemukan.  Hanya 1/3 wanita dengan kadar prolaktin tingi akan mengalami galaktorea. Amenorea karena kadar prolaktin yang tinggi terjadi karena hambatan sekresi pulsatil GnRH  oleh prolaktin. Terapi yang diberikan adalah pengangkatan tumor atau supresi sekresi prolaktin dengan pemberian dopamin agonis (bromokriptin). Bromokriptin akan berikatan dengan reseptor dopamin dan akan bekerja menyerupai fungsi dopamin menghambat sekresi prolaktin.
             Penanganan amenorea hupofisis dengan memberikan hormon  yang kurang dan pemberian steroid seks secara siklik.

Sindroma Amenorea Galaktorea

            Merupakan kumpulan gejala klinis berupa amenorea dengan atau tanpa galaktorea sebagai akibat peningkatan kadar prolaktin. Prolaktin dihasilkan di anterior hipofisis dan pengeluaranya dipengaruhi oleh prolactin inhibiting factor (PIF).  Hiperprolaktinemia terajadi karena PIF tidak berfungsi pada keadaan-keadaan sebagai berikut : sekresi PIF berkurang karena gangguan hipotalamus, obat-obatan yang menghambat kerja PIF (fenotiazin, transquilizer atau psikofarmaka lain), estrogen, domperidone, simetidin, kerusakan system vena portal hipofisis, prolaktinoma dan hipertiroid. Sebagai akibat hiperprolaktinemia menyebabkan sekresi FSH dan LH berkurang, berkurangnya sensitivitas ovarium terhadap FSH dan LH, memicu produksi air susu dan sintesis androgen di suprarenal serta osteoporosis. Hiperprolaktinemia yang berkepanjangan akan menyebabkan atrofi sel-sel hipofisis penghasil gonadotropin1,2,3.
            Diagnosis sindroma amenorea galaktorea adalah berdasarkan timbulnya gejala klinis amenorea dengan atau tanpa galaktorea, keluhan sakit kepala dan gangguan penglihatan. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai serum prolaktin diatas normal( > 5 – 25 ng/ml), apabila serum prolaktin > 100 ng/ml kemungkinan dijumpai prolaktinoma. Bila diduga prolaktinoma maka  dapat dilakukan uji provokasi, antara lain :
1.  Uji dengan TRH : pemberian 100 – 500 ug TRH intravena tidak menunjukkan perubahan kadar prolaktin maka kemungkinan suatu prolaktinoma.
2        Uji dengan simetidin : apabila  pemberian 200 mg simetidin IV tidak menimbulkan peningkatan prolaktin.
3        Uji dengan domperidon : pemberian domperidon 10 mg iv tidak menyebabkan peningkatan prolaktin.
Jenis Pemeriksaan
Kadar Prolaktin

Prolaktinoma

Tanpa prolaktinoma
Uji TRH
Tidak meningkat
Meningkat 4-14 kali
Uji Simetidin
Tidak meningkat
Meningkat di atas kadar normal
Uji Domperidon
Tidak meningkat
Meningkat 8-11 kali

Pada prolaktinoma sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT – scan  atau MRI.   
            Obat yang paling banyak digunakan pada sindroma amenorea galaktorea adalah bromokriptin dengan dosis 1 x 2,5 mg pada kadar prolaktin 25 – 40 ng/ml atau 2 x 5 mg pada kadar prolaktin 50 ng/ml. Pemberiaan bromokriptin harus dilakukan pengawasan yang baik sehingga kadar prolaktin serum tidak berada dibawah nilai normal yang dapat mengganggu fungsi korpus luteum. Efek samping bromokriptin yang sering timbul adalah mual, pusing dan hipotensi. Pada penderita hiperprolaktinemia tanpa galaktorea maka pemberian bromokriptin tidak akan memberi efek apapun.

Amenorea hipogonadotrop dengan atau tanpa tumor hipofisis
Bila hormon FSH, LH dan prolaktin normal, penyebabnya adalah insufisiensi hipotalamus – hipofisis yang bisa disebabkan tumor hipofisis dan untuk membuktikannya perlu pemeriksaan radiologik. 

Amenorea hipergonadotrop
Bila hormon FSH dan LH tinggi, prolaktin normal maka penyebab amenorea adalah di ovarium oleh karena insufisiensi ovarium, misalnya pada menopause prekok. Selanjutnya perlu dilakukan biopsi ovarium melalui laparoskopi.


III. Kompartemen II : Amenorea Ovarium1

            Penyebab amenorea pada ovarium adalah tidak terbentuknya kedua ovarium atau hipogenesis ovarium seperti pada sindroma Turner, pengangkatan kedua ovartium, ovarium polikistik, insufisiensi ovarium karena radiasi, sindroma ovarium resisten gonadotropin,  folikel persisten, tumor ovarium dan beberapa gangguan ekstragonad yang mengganggu fungsi ovarium, seperti : gangguan fungsi tiroid, diabetes mellitus, kekurusan (underweight), kegemukan (overweight), trauma psikogen. Penderita amenorea ovarium umumnya infertile dengan gambaran seks sekunder kurang terbentuk.
            Pengobatan untuk menekan sekresi FSH dapat diberikan estrogen dan progesteron atau estrogen saja secara siklik, bisa juga dengan pemberian GnRH analog selama 6 bulan.

IV. Kompartemen I : Amenorea akibat gangguan di saluran keluar kelamin wanita atau uterus (amenorea uteriner)1
            Penyebab amenorea uteriner adalah aplasia uteri dan vagina, uterus hipoplasi, kelainan congenital, atresia serviks, atresia cavum uteri, kerusakan endometrium akibat kuretase, infeksi dan obat-obatan. Pada kasus atresia himen darah haid tidak dapat keluar, sehingga dapat terjadi pengumpulan darah haid di vagina (hematokolpos) atau di uterus  (hematometra) atau di tuba (hematosalping).

 Asherman Syndrome
      Sindroma yang terjadi karena  destruksi endometrium serta tumbuhnya perlekatan pada dinding kavum uteri sebagai akibat kerokan yang berlebihan, biasanya pada abortus atau postpartum. Penderita biasanya menderita amenorea sekunder, selain dapat terjadi abortus, dismenorea, hipomenorea dan infertilitas  dan untuk diagnosis pasti dapat dipastikan dengan histerogram. Diagnosis dengan histeroskopi lebih akurat dan dapat mendeteksi perlekatan minimal pada dinding kavum uteri yang tidak terdeteksi dengan histerogram.
            Penanganan sindroma asherman adalah melepaskan perlekatan dengan dilatasi serta kuretase atau histeroskopi dengan menghilangkan perlekatan memberi hasil yang lebih baik dan untuk mencegah perlekatan berulang dengan pemasangan IUD atau pediatric foley catether ,  serta pemberian antibiotika spectrum luas dan estrogen selama dua bulan.

Mullerian anomali atau agenesis
Kelainan perkembangan tuba mulleri baik total atau sebagian. Keadaan ini perlu difikirkan pada penderita amenorea tanpa riwayat perdarahan pervaginam.

     Feminisasi testikular  
Suatu pseudohermafrodit pria dengan testis dan kariotipe XY. Ditandai amenorea primer, tidaka ada uterus dan tidak adanya rambut pubis dan aksila.



















KEPUSTAKAAN :
  1. Speroff  L, Glass R H, Kase N G, 1993. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, 5 th edition, William & Wilkins, Philadelphia. 401 – 454.
  2. Baziad A, Surjana E J, 1993. Pemeriksaan dan Penanganan Amenorea, edisi pertama, KSERI, Jakarta, 35 – 56.
  3. Rebar R W, Disorders of Menstruation, Ovulation, and Sexual Response, Principles and Practise of Endocrinology and Metabolism, 2nd edition, J>B> Lippicott Company, Philadephia. 880 – 97.
  4. Perkins R B, Hall J E, Martin K A, 1999. Neuroendocrine Abnormalities in Hypothalamic Amenorea, The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, The Endocrine Society.
  5. Santiago  L P, 1993. Primary Amenorea and Secondary Amenorea, Decision Making Reproductive Endocrinolgy, 1st edition, Blackwell Scientific Publication Inc, 49 – 64.
  6. Scherzer W J, Clamrock H, 1996. Amenorea, Novaks Gynecology, 12 th edition, William & Wilkins, Baltimore, 809 – 831.



*) Dibacakan pada pertemuan ilmiah bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM/ RSUP DR. Sardjito, Yoyakarta, Maret 2002.

1 komentar:

  1. saya mengalami amenorea primer(tidak pernah haid sama sekali)usia 25th..sudah menikah 1,6bl..sudah tes hormon tshs, fsh, prolactin dan estradiol semua normal.. pemeriksaan apa lagi dok yg sya butuhkan untuk bisa mendapatkan haid dan hamil? mohon bantuannya

    BalasHapus