Kebijakan Pemerintah tentang Jaminan Persalinan (JAMPERSAL) yang menggratiskan biaya perawatan kehamilan, persalinan baik yang normal maupun operatif, serta biaya perawatan bayi baru lahir dan nifas telah banyak mendapatkan sorotan publik, khususnya respon yang agak emosional dari para bidan yang selama ini sebagai tenaga kesehatan terdepan dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak di komunitas.
Betapa tidak, yang biasanya biaya persalinan itu dibayar langsung oleh masyarakat sendiri kepada bidan pada kisaran Rp 500 ribu s.d. 750 ribu, kini bidan harus menerima Rp 350 ribu itu pun yang nyampe ke bidannya sekitar Rp 162 ribu. Itu pun sifatnya harus klaim dan tidak dibayar langsung oleh pemerintah melalui APBD setelah persalinan berlangsung.
Pada dasarnya kebijakan Jampersal itu baik, hanya secara teknis jumlah biaya persalinan yang dicover oleh pemerintah itu kurang sensitif terhadap situasi batin para bidan yang notabene merupakan tenaga kesehatan terdepan dalam upaya penurunan kematian ibu dan bayi di Indonesia.
Hampir 80% persalinan di Indonesia itu ditolong bidan, jadi pemerintah tak boleh menutup mata terhadap realitas ini. Jika dibiarkan maka, secara manusiawi wajar jika bidan pun bereaksi agak emosional. Jika pemerintah punya niat baik untuk meng-cover biaya persalinan ya harus diperhitungkan dulu berapa sesungguhnya biaya yang rasional diberikan kepada bidan.
Yang saat ini terjadi pun kebijakan itu mengalami deviasi. Karena persalinan harus dilaksanakan di Puskesmas, maka biaya persalinan yang secara normatif telah ditetapkan pemerintah Rp 350 ribu itu ternyata yang sampai ke bidan hanya Rp 162 ribu di Kabupaten Kuningan.
Penetapan besaran biaya yang diterima itu didasarkan oleh kesepakatan bersama, namun terkesan kurang memperhatikan dimensi lain dari profesi bidan. Terang saja, kebijakan ini sebenarnya kurang didukung oleh para bidan dan pada akhirnya kini mulai ada gejala bahwa masyarakat pun enggan memanfaatkan Jampersal karena selalu ada persepsi bahwa segala sesuatu yang berbau gratis itu terkesan kualitas pelayananannya relatif kurang baik.
Akhirnya sudah terlihat gejala masyarakat yang termasuk kelompok menengah ke atas, enggan menggunakan Jampersal dan lebih baik bayar sendiri langsung ke bidan, namun pelayanan yang diberikan bisa lebih baik.
JAMPERSAL ini sasarannya agak berbeda dengan JAMKESMAS yang hanya difokuskan bagi kelompok masyarakat tak mampu. Sedangkan Jampersal siapapun bisa memanfaatkannya yang penting proses persalinannya dilangsungkan di Puskesmas yang ada. Atas dasar itu, JAMPERSAL ini terkesan terlampau dipaksanakan dengan latar belakang ingin mempercepat penurunan AKI dan AKB melalui perluasan akses pelayanan kesehatan, agar tujuan ke-4 dan ke-5 MDG’s bisa dicapai lebih cepat.
“Saya berpendapat sebaiknya pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan penetapan setiap komponen biaya yang dapat dicover oleh Jampersal untuk setiap pelayanan KIA. Jika memang anggarannya memadai ya tingkatkan tunjangan fungsional bidan atau tingkatkan satuan biayanya minimal Rp 500.000 untuk biaya persalinan dan Rp 35.000 untuk biaya perawatan kehamilan.
Jangan karena berambisi kejar target, namun terkesan memaksakan kebijakan yang sudah jelas merugikan profesi bidan sendiri dari sisi penghargaan terhadap profesionalitasnya. Padahal kita tahu bahwa proses menolong persalinan itu bukan sesuatu yang tidak berisiko, namun justru besar sekali risikonya, baik bagi bayi, ibunya, maupun bagi bidan sendiri.
Kecemasan dan stressor bidan harus mendapatkan penghargaan yang selayaknya dari pemerintah, jangan terkesan dibiarkan begitu saja. Jika pemerintah butuh bidan untuk pencapaian MDGs ya hargai otonomi profesionalitasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar